English (United Kingdom)Indonesian (ID)

Goda yang mendatangkan bencana

Bagi yang tidak luntur memegang prinsip Budi Pekerti, etika moral, tentu akan terhindar dari bermacam goda yang bisa mendatangkan bencana kehidupan.

Dalam ajaran Kejawen ada tiga macam goda yang sangat berbahaya. Pada zaman dulu, peringatan ini terutama ditujukan kepada para priyayi/ pejabat negara/ birokrat. Pada masa kini, goda tersebut bisa mengancam siapa saja yang menduduki posisi strategis, baik dilembaga negara maupun swasta.

Ketiga macam goda tersebut adalah :
Pertama : Grombyang wang – Gemerincing uang
Kedua     : Kecopak iwak – Gelepar ikan
Ketiga     : Pledhinge wentis jenar – Betis sexy yang menggoda

 

 

 

 

Uraiannya sebagai berikut :


Grombyang Wang


Tempo dulu uang terbuat dari dari bahan  logam : tembaga, perak dan emas, sehingga bunyinya gemerincing. Kalau jumlahnya banyak, misalnya segepok atau lebih bunyinya lebih keras yaitu grombyang ( bahasa Jawa).Maksudnya jelas, yaitu : Pejabat tidak boleh tergoda oleh uang yang tidak halal, tidak boleh mencuri/ meng-korupsi uang negara/ uang perusahaan.

Tidak boleh menerima atau minta uang suap. Tidak boleh menyalah gunakan posisi/ jabatan yang dipercayakan kepadanya, guna mendapatkan uang haram, upeti, “hadiah”, komisi, setoran, karena telah melakukan pelayanan karena tugasnya, baik melalui pemerasan maupun secara “halus” atau kongkalikong atau TST – Tahu Sama Tahu.


Kecopak Iwak

Gelepar ikan air yang ditangkap. Disini menggambarkan orang yang suka berpesta pora dengan menyantap makanan-makanan yang mewah dan serba lezat.

Orang itu boleh saja makan, itu memang perlu untuk kesehatan, tetapi secukupnya saja. Makan berlebihan, terlalu banyak lemak dan daging, selain merupakan pemborosan, juga tak baik untuk kesehatan.

Dalam konteks ini, merupakan peringatan kepada para pejabat untuk jangan senang berpesta pora dengan hidangan-hidangan mewah berlimpah dengan menggunakan uang negara.

Apalagi pada masa kini, pesta makan-makan para pejabat sering disiarkan secara langsung oleh media teve. Dalam tayangan terlihat jelas, para pejabat tampil parlente, mukanya ceria karena hidupnya serba berkecukupan dan senang, pakaiannya bagus-bagus dan ada  tersedia sederet makanan.Padahal acara yang  tampak diteve itu, disaksikan jutaan rakyat yang kebanyakan hidup dibawah garis kemiskinan. Apa kawula alit itu tidak ngenes ,melihat para pemimpinnya sedang menyantap hidangan  yang diluar jangkauan mereka!


Pledhinge Wentis Jenar

Terjemahan bebasnya : Tergoda betis yang sexy.
Pada tempo doeloe, kaum wanita mengenakan kain panjang dari batik atau lurik, sampai menutupi mata kaki.Kalau kainnya sedikit tersingkap, sehingga betisnya kelihatan, maka laki-laki tempo doeloe akan merasa syur.

Ungkapan ini merupakan nasihat terutama kepada para priyayi, pejabat  untuk tidak main perempuan atau terjerat bujuk rayu wanita yang bukan istrinya, hingga lupa segalanya.

Lupa kepada tugasnya, lupa kepada sumpah jabatan, demi mencari kepuasan pribadi dan mencukupi kebutuhan WIL-nya. Sampai-sampai mengorbankan budi pekerti, lalu berani korupsi dan nekat mencari uang dengan cara tidak syah, menyeleweng.

Untuk masa kini, dizaman kesataraan jender, pesan yang lebih cocok ,bunyinya : Jangan selingkuh, baik pria maupun wanita. Kelihatannya manis sesaat, tetapi bisa fatal akibatnya. Kas  negara atau perusahaan bisa bocor, karena butuh uang banyak, keluarga bisa runyam.


Goda bagi pejabat hukum

Goda yang berat juga dihadapi petugas hukum, itu terjadi sejak zaman kuno. Penyelewengan yang dilakukan mereka yang memegang hukum, bisa menimbulkan kerusakan yang amat parah bagi sendi-sendi kehidupan bernegara.Hukum dan peraturan negara dilanggar semena-mena, sumpah jabatan dilanggar, pasti runyam akibatnya.

Memang ternyata , kebaikan dan kejahatan itu selalu ada dimana-mana  berbarengan dengan saat lahirnya peradaban, baik dan buruk adalah dua sisi mata uang yang sama. Solusinya mudah, kita berpegang kepada kebenaran dan jangan tergoda oleh yang jahat.

Penyelewengan hukum yang sudah ada diperbendaharaan kuno itu adalah :

Dhindhang Karuban
Ini dikatakan untuk petugas hukum yang menerima suap.

Madhasan.
Ini adalah petugas hukum yang mencari uang / keuntungan pribadi dari orang yang tengah berperkara.

Misa Jaya
Ini penggambaran dari petugas hukum yang menggunakan ilmu dan kekuasaannya untuk “memlintir” hukum, sehingga pihak yang salah diputuskan menang. Untuk “jasanya”, sipetugas hukum menerima “upah” berupa uang yang tidak sedikit, tergantung kasusnya.

Sungguh berbahaya iming-iming uang, itu bisa menghancurkan moral, sehingga petugas berani nekat melanggar kode etik kerja dan sumpah jabatannya dan mengambil resiko yang berbahaya bagi diri dan keluarganya . Lebih parah lagi, karena sikap yang tidak terpuji ini mencemarkan  nama baik instansi dan korps penegak hukum yang bekerja untuk menegakkan hukum dan kebenaran.

Milik anggendhong lali

Goda lain yang juga amat membahayakan adalah  keinginan untuk memiki sesuatu dengan cara yang tidak wajar, misalnya dengan cara mencuri, menipu atau mengakali. Lebih nekat lagi dengan cara merebut dari pemiliknya atau merampok, kalau perlu yang menghalangi, disingkirkan, bahkan sampai  tega membunuh.

Itu contoh ingin memiliki suatu benda fisik.
Ada juga yang  mengincar atau ingin memiliki, menguasai sesuatu yang abstrak tetapi nyata, misalnya ingin menduduki jabatan “empuk” yang menggiurkan karena ditempat itu  akeh bleduge, terjemahan harafiahnya : banyak debunya, arti kiasan dari: ada banyak pendapatan ekstra selain gaji resminya.Bila berhasil menduduki posisi tersebut, uang ekstra akan mengalir kekocek dengan deras, istilahnya  hanya paraf atau tanda tangan saja ada yang menyetori duit, belum lagi fasilitas gratis yang akan diterima. Oleh karena itu, ada banyak orang yang ingin bekerja “mengabdi” buat bangsa dan negara, tetapi apa salahnya kalau bisa punya jabatan basah. Posisi seperti itu ada  ditingkat birokrasi  rendah sampai yang tertinggi.

Disebuah  negeri dimana sistim birokrasinya termasuk “ ekonomi beaya tinggi”, saingan atau rebutan untuk mendapatkan jabatan “empuk” adalah sesuatu yang dianggap wajar-wajar saja. Tidak ada yang salah, karena keadaan sesaat mendukung hal yang salah kaprah seperti itu.Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk mendapatkan posisi yang menggiurkan itu, seseorang peminat harus bermodal, keluar duit untuk “membelinya”.Sesudah berhasil menjabat, ya wajar saja kalau dia menarik kembali” modal” yang telah dikeluarkan dan tentu saja dengan ditambah keuntungan yang berlipat-lipat!.

Keadaan yang seperti ini berlaku didalam masyarakat yang sedang atau masih sakit. Alasan klisenya karena gajih birokrat tidak cukup dan dalam kehidupan yang konsumeristis, jarang orang yang mau hidup sederhana .Padahal persoalannya adalah masih tersebarnya sakit mentalitas yang menggurita kemana-mana.

Ada yang bertanya, bagaimana caranya supaya para pejabat dan terutama saudara-saudara kita yang menduduki echelon diatas tidak terjebak didalam berbagai goda? Karena sebagian dari mereka itu sepertinya terlena  aji mumpung.

Untuk memperbaiki keadaan ini, moralitas ,budi pekerti harus ditegakkan kembali supaya manusia menggunakan nurani, jiwanya bersih tercerahkan,tuntunan Ilahi akan menyinari, itulah modal utama untuk merombak keadaan yang amburadul ini. Selanjutnya, manusia-manusia trampil yang telah tercerahkan jiwanya, mumpuni dalam berbagai ilmu keduniawian yang canggih, akan lebih mudah mrantasi gawe menggulirkan tata kehidupan yang adil dan sejahtera dinegeri tercinta ini.


JagadKejawen,

Suryo S. Negoro