English (United Kingdom)Indonesian (ID)

Percintaan Dewi Sukesi dengan Wisrawa

Cerita cinta sepertinya tak pernah padam sepanjang sejarah manusia. Sepasang wanita dan pria terlibat dalam hubungan asmara, satu hal yang wajar-wajar saja, alami, tetapi melalui coretan tangan pujangga, itu bisa melahirkan karya sastra agung yang mendunia.

Dunia Barat punya roman klasik Romeo dan Juliet. Di Jawa kuno, diabad ke 11 dimasa kerajaan Kediri, kobaran asmara antara Asmarabangun yang gagah perkasa dengan Galuh Candra Kirana yang cantik jelita, serasa masih menjilat sepasang insan yang memadu kasih ditanah ini.

Dalam kancah wayang tua, sebelum episode Ramayana, dimasa itu masih ada kerajaan-kerajaan yang raja dan penghuninya adalah raksasa ( buto dalam bahasa Jawa). Postur tubuhnya tinggi besar, jelek rupanya, demikian pula watak dan kelakuannya.

Beberapa raksasa yang sadar, berguru kepada resi manusia yang bijak, untuk belajar sopan santun, budi pekerti dan bahkan pengetahuan spiritual untuk manembah kepada Gusti, Sang Pencipta Alam.

Beberapa raksasa setelah berguru mengalami perubahan, yaitu :

Pertama : Menjadi berkelakuan baik, bahkan sampai bisa mendapatkan pencerahan jiwa.

Kedua     : Raga fisiknya juga menjadi lebih baik, yang wanita menjadi manusia cantik; yang laki-laki menjadi pria berparas bagus.

Ketiga     : Yang terpenting, eksistensi mereka sebagai raksasa telah berhenti , karena mereka sudah lagi bukan raksasa atau buto artinya buta. Kini mereka telah menjadi manusia yang tidak lagi buta, sudah bisa membedakan perbuatan buruk dan baik.

Dengan bimbingan guru bijak, buto yang jelek rupa dan perbuatannya, berubah menjadi manusia yang bagus atau ayu rupanya, demikian pula sifat dan tindakannya.

 

Prabu Sumali dan Dewi Sukesi

Contoh nyata dari perubahan seperti itu dialami oleh Prabu Sumali, raja dari kerajaan Alengkadiraja dan Dewi Sukesi, putrinya.   

Prabu Sumali yang tadinya raksasa/buto telah menjadi seorang manusia dan memerintah negerinya dengan bijak. Ia disenangi dan dihormati rakyatnya dan raja-raja negeri tetangga.

Putrinya, Dewi Sukesi, yang tadinya raksasi, telah berubah menjadi seorang putri ayu yang luar biasa cantiknya, hatinya lembut, sopan dan merdu tutur katanya.

Keanggunannya kondang melewati batas negerinya. Banyak satria dan raja yang meminangnya, tetapi dengan halus semua ditolak.Padahal semua peminang berjanji untuk membahagiakannya, menawarkan perhiasan-perhiasan emas permata yang amat mahal, hidupnya akan bergelimang harta.

Meski zaman kuno, Prabu Sumali berpikiran maju. Dalam hal cinta, dia tidak mau memaksa putrinya, dia percaya bahwa putrinya cukup arif untuk menentukan sendiri jodoh pilihannya.


Sastra Jendra

Syarat utama supaya pinangannya diterima bukanlah pemberian harta berlimpah dan mas picis rajabrana- uang mas dan perhiasan-perhiasan berlian indah dan mahal. Bukan pula pemberian tanah atau negeri yang luas, bukan pula kedudukan serta kekuasaan.

Yang bakalan menjadi suaminya adalah seorang pria yang telah menguasai Sastra Jendra. Lalu apa itu Sastra Jendra? Tentu banyak orang yang tidak tahu Sastra Jendra, mungkin mendengar saja belum pernah! Karena Sastra Jendra adalah ngelmu sejati, pengetahuan spiritual yang hanya diperuntukkan para dewa. Pengetahuan ini tinggi sekali nilai spiritualnya, hanya untuk para dewa, bangsanya malaikat ( angels).

Dengan demikian ,kalau ada manusia yang bisa menguasai Sastra Jendra, tentulah dia orang yang terpilih. Dia dapat perkenan langsung dari Sang Pencipta Hidup, Tuhan.

Para satria dan raja-raja muda yang datang melamar banyak yang bagus rupanya, santun, pandai, berbusana apik, rapi. Mereka juga mempunyai pengetahuan yang memadai dalam seni beladiri dan perang. Ada juga yang tataran ilmu kanuragannya cukup tinggi, sakti,  kulitnya tak mempan ditembus senjata tajam . Tubuhnya kuat menahan berbagai serangan  yang menggunakan aji-aji yang dahsyat Umumnya memiliki pusaka-pusaka andalan yang ampuh berupa keris, panah, gada, tombak dsb.

Tetapi tataran spiritual mereka masih belum tinggi, karena mereka masih lebih memperhatikan kehidupan materi dan duniawi. Tidak satupun dari mereka yang menguasai Sastra Jendra, bahkan belum pernah mengetahui dan mendengar , apa itu Sastra Jendra!

Sebenarnya mereka sangat kecewa dengan penolakan terhadap lamaran mereka. Tetapi, Prabu Sumali yang sudah menguasai Sastra Jendra, tampak begitu berwibawa didepan mereka. Selain itu,

dia juga amat sopan dalam menemui dan bertutur kata dengan tamu-tamunya, bersikap santun dalam memberi penjelasan sehingga tidak ada yang sakit hati.

Paling-paling pada waktu pamitan, mereka bilang bahwa mereka akan mencari Sastra Jendra dan bila sudah dapat, sementara Dewi Sukesi belum ada yang menyunting, mereka akan datang kembali untuk melamar.


Begawan Wisrawa

Sementara itu di kerajaan Lokapala, baru saja menobatkan putra mahkota menjadi raja baru.

Raja yang baru diwisuda adalah Raja Danaraja, menggantikan ayahandanya yang seleh keprabon – dengan sukarela turun tahta.

Yang baru saja turun tahta adalah Wisrawa, sewaktu memerintah dia termasuk raja yang brilian, pandai, bijak, adil, sehingga seluruh negeri dan kawula merasa hidup berkecukupan, tentram dan sejahtera.Selain itu, dia adalah raja yang mampu melindungi rakyat dan negerinya. Segala perintahnya selalu diturut oleh punggawa dan kawula negeri.

Sudah cukup lama dia memerintah, keadaan negeri makmur dan stabil. Dia juga sudah mempersiapkan penggantinya, yang tak lain adalah putra kandungnya sendiri, yang juga menguasai ilmu pemerintahan dengan baik dan selalu bersikap korekt dalam bekerja dan dalam pergaulan.

Sebenarnya, Wisrawa belum begitu tua, dia masih termasuk paruh baya. Tetapi dia sudah merasa cukup mengenyam kehidupan duniawi yang sukses. Sebagai raja dia banyak terlibat dalam urusan negara sehari-harinya dan meskipun penguasa diapun mesti mengikuti aturan protokoler kerajaan, sehingga dia merasa tidak bebas.

Dia ingin hidup yang lebih merdeka, dia ingin menjadi kawula biasa, supaya bisa pergi dengan bebas kemanapun. Dia bukannya mau jadi tukang kluyuran, tetapi dia telah berketetapan hati untuk mendalami kehidupan spiritual, istilah yang dipakai waktu itu adalah mau jumeneng pandhito – menjadi seorang pendeta.Dihari tuanya, dia ingin membersihkan jalan kehidupannya dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan dan mengamalkan pengetahuan spiritualnya kepada sesama mahluk Tuhan yang terpanggil.Sebenarnya kawruh sejati-pengetahuan spiritual Wisrawa sudah tinggi, dia adalah salah satu manusia yang sudah tergembleng jiwanya, sudah mengetahui hidup sejati, sudah menguasai Sastra Jendra. Oleh karena itu dia sangat bijak dalam memerintah.

Sebelum memasuki hidup sebagai pendeta, dia harus masih menyelesaikan tugas terakhir kerajaan.

Danaraja, putranya yang telah menjadi raja belum punya pendamping, belum punya permaisuri, meskipun umurnya sudah mendekati seperempat abad.Memang Danaraja pada waktu mudanya termasuk pemuda yang alim, banyak belajar, banyak bekerja.

Wisrawa berbicara serius dengan Danaraja dan memberi saran supaya Danaraja segera menikah dan punya permaisuri. Selain tidak baik bagi seorang raja hidup sendirian, juga demi suksesi masa depan.

Danaraja ternyata tidak punya rencana apapun untuk menikah, dia belum punya calon. Wisrawa yang waskita mengusulkan supaya putranya melamar putri raja Alengkadiraja, Dewi Sukesi yang kondang cantik jelita dan baik hatinya.Untuk itu Danaraja menurut kepada nasihat ayahandanya yang sangat dihormatinya dan dia percaya pilihan ayahnya tentu tidak keliru.

Sesuai dengan ketentuan saat itu, lamaran raja haruslah diwakili oleh seorang delegasi yang ditunjuk oleh raja.Raja tak pelak lagi mempercayai ayahnya untuk melaksanakan lamaran, selain itu Wisrawa juga kenal baik dengan Prabu Sumali, ayah Sukesi. Diharapkan segalanya berjalan lancar dan lamaran diterima, lalu terjadi perkawinan agung antara Raja Danaraja dengan Dewi Sukesi.

 

Lamaran

Dengan  sopan, Wisrawa sebagai utusan Raja Lokapala, Danaraja menghadap Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi.Maksudnya hanya satu, yaitu melamar Dewi Sukesi supaya mau menjadi istri dan permaisuri dari Danaraja.

Prabu Sumali sebagai orang yang waskita , mengerti bahwa  Wisrawa adalah juga orang waskita.

Oleh karena itu, dia menjawab Wisrawa dengan bahasa yang sopan dan langsung menyangkut intinya.Dengan ringkas dikatakannya bahwa Dewi Sukesi akan menerima pelamar yang sudah menguasai Sastra Jendra, kalau belum ,lebih baik jangan melamar.

Dengan rendah hati Wisrawa mengatakan kalau dia sudah menguasai Sastra Jendra dan hal ini sebenarnya juga sudah diketahui oleh Prabu Sumali.

Sebagai syarat formal dan ini ketentuan dari Dewi Sukesi, pelamar yang mengaku sudah menguasai Sastra Jendra harus membuktikannya langsung kepada Dewi Sukesi dengan cara memberi wedaran- uraian dari pengetahuan itu. Karena ini menyangkut pengetahuan piningit- termasuk rahasia dewa, maka wejangannya tidak boleh didengar oleh siapapun. Wisrawa menurut apa yang ditentukan, supaya pinangan anaknya bisa diterima. Lebih cepat lebih baik.



Wejangan Wisrawa kepada Dewi Sukesi

Wejangan dilakukan disuatu tempat.khusus diistana, yang tidak bisa didengar dan dilihat orang. Yang ada hanya Wisrawa dengan Sukesi, dua-duanya duduk bersila berhadapan dilantai yang digelari permadani.

Pada mulanya, wejangan berjalan sangat serius, dengan menggunakan lantunan kalimat yang enak dengan suara lirih. Wisrawa berkata dengan hati-hati supaya tidak salah, Sukesi mendengarkan dengan cermat. Uraian terus berlanjut, kadang-kadang Sukesi menyela dengan bertanya. Wisrawa tahu dari caranya dan pertanyaan yang diajukan oleh Sukesi sebenarnya Sukesi sudah tahu Sastra Jendra.

Lama-lama, kekakuan dalam komunikasi lenyap, lalu menjadi lebih luwes, terkadang diselingi senyuman dan saling curi pandang.

Sukesi mulai mengagumi pria yang berbicara dengan sopan, manis dan bermutu, yang duduk dihadapannya.Logat bicaranya amat menarik, gerakan tubuh dan tangannya lebih mempertegas uraian yang diberikan dengan jelas.Dari pandangan-pandangan sekilas yang diarahkan kewajahnya, tak pelak lagi pria ini ganteng sekali.Belum pernah sebelumnya Sukesi bertemu dengan pria yang pintar dan sekaligus tampan seperti ini.

Wisrawa dalam hati memuji Sukesi. “Waduh-waduh, putri raja yang dihadapkanku ini cantik luar biasa dan lagi luas wawasannya dan pandai sekali” Mula-mula dia masih berpikir bahwa Sukesi sangat cocok untuk menjadi permaisuri Raja Danaraja, yang anaknya. Oleh karena itu, hatinya senang dan dia banyak tersenyum supaya lamaran bagi anaknya disetujui oleh Sukesi.Meskipun, kadang-kadang pikirannya mulai melenceng : “Ah, belum pernah aku ketemu perawan secantik ini, wajahnya bercahaya lembut, tubuhnya indah, tutur kata indah dan menarik bagai magnit.Oh alangkah bahagianya bila aku bisa membelainya”..Tapi dalam sekejap ,Wisrawa mampu menepis goda pikir itu dan kembali rasional kepada misi yang diembannya.

Penguraian Sastra Jendra baru pada tahapan pembuka, keduanya mulai lebih banyak berkomunikasi, lebih bebas bicaranya.. Entah bagaimana mulanya, kedua pihak saling tertarik. Rasa saling tertarik merasuk dalam kedalam hati pria dan wanita yang hanya berdua ditempat sepi.

Keduanya dirasuki kobaran nafsu asmara yang menggelora. Tidak ada lagi basa basi, ewuh pakewuh-rintangan sopan santun dan tata susila, atas nama asmara ,segalanya bisa dilakukan.


Hubungan cinta

Hanya sejenak bertemu dan berkenalan, Wisrawa dan Dewi Sukesi cepat larut dalam pelayaran memadu kasih yang meledak-ledak, kenikmatan nafsu yang tak terkendali. Mereka secepat kilat terlibat dalam Love Affairs- hubungan cinta antara seorang calon mertua dengan seorang calon menantu.

Nafsu yang lepas kendali, telah berhasil mengalahkan pikiran jernih. Padahal Dewi Sukesi dan Wisrawa adalah manusia-manusia yang sudah punya kesadaran spiritual tinggi, masih juga bisa terkikis sifatnya yang bijak.Itulah kenapa para pinisepuh didalam setiap kesempatan selalu mengingatkan kepada kita semua supaya tetap eling lan waspada – ingat dan sadarlah selalu!


Jangan takabur, bersikap sok suci.

Selama masih sebagai manusia yang berbadan fisik dan halus, selama itu pula masih bisa terjerat oleh goda yang kelihatannya manis dan enak, tetapi mengakibatkan keterpurukan.

Hubungan cinta ragawi Wisrawa dan Sukesi yang hanya dilandasi nafsu semata, menghasilkan buah yang sepadan.Lahirlah anak pertama yang melambangkan nafsu amarah yang menyala-nyala yaitu :

Dasamuka, raksasa besar yang mengerikan, mukanya sepuluh, berwarna merah bagai api, wataknya jahat sekali, hanya mengedapankan nafsu.

Kumbakarna, putranya yang kedua, raksasa besar, kulitnya hitam, melambangkan nafsu makan dan doyan tidur yang berlebihan.
Sarpakenaka, anak ketiga, perempuan raksasi. Wataknya juga jahat, suka iri.  Mukanya jelek berwarna kuning dan suka bersolek berlebihan. Melambangkan nafsu kepada harta duniawi.

Gunawan Wibisana, putra keempat berupa manusia.Satria yang berwajah bagus, putih pucat. Ini perlambang senang kepada laku tirakat, hidup sederhana dan menjalani kehidupan spiritual.

Sampai dengan kelahiran anak mereka yang ketiga, yang ketiganya berupa raksasa, Sukesi dan Wisrawa belum juga sadar bahwa hubungan mereka itu berdasar nafsu rendah belaka.Mereka belum eling, belum ingat, belum tersadarkan kembali.Sampai tiga kali mereka menarik benih kehidupan yang tidak baik, yang dilambangkan raksasa-raksasa jelek .

Baru pada waktu”pembuatan” anak yang keempat, mereka sadar kembali dan melakukan hubungan kasih yang dilandasi kepada norma-norma Asmaragama yang mulia dengan memohon berkah kepada Gusti. Lahirlah Gunawan Wibisana, satria jujur, baik hati dan selalu memihak kepada kebenaran.Nantinya Gunawan Wibisana akan membantu Rama dalam usahanya membebaskan Sinta, istrinya yang disekap oleh Dasamuka di Alengkadiraja. Kerajaan Alengka yang hancur karena perbuatan jahat Dasamuka, akan dibangun dan ditata kembali dibawah kepempiminan yang adil dan bijak dari Gunawan Wibisana.


Ngelmu Sejati

Dari sudut pandang spiritualitas, cerita cinta Wisrawa dengan Sukesi adalah untuk mengingatkan kepada pencari pencerahan jiwa untuk jangan terjebak kedalam berbagai nafsu yang negatif..

Akibatnya bisa membuat kesusahan, bahkan keterpurukan dalam kehidupan..

Kalau kita sudah bisa mengendalikan berbagai macam nafsu termasuk menentramkan pikiran dan mengarahkannya kepada hal-hal yang positif, barulah rasa hati bisa meneb – diajak tentram, raga tenang, santai-heneng, kemudian rasa menjadi hening- tentram sekali.

Untuk mencapai meneb, heneng, hening, itu mudah dikatakannya, tetapi perlu latihan santai tetapi tekun untuk bisa mencapainya.Oleh karena itu, orang-orang tua zaman dulu banyak yang “nglakoni”- ngurang-ngurangi, tirakatan, dengan jalan antara lain menjalani berbagai macam laku puasa, mengurangi tidur dan sebagainya.Sebenarnya, salah satu jalan sederhana yang bisa dilaksanakan adalah menjalani urip sakmadyo- hidup sederhana, semampunya, seperti apa adanya.
 
Makan secukupnya, tidak perlu mewah, yang penting sehat, banyak sayur dan buah. Tidur seperlunya saja, jangan terlalu banyak, tidurlah pada waktu sudah mengantuk sekali.Tidur sebentar tetapi berkwalitas, itu yang penting. Kebanyakan tidur tidak baik untuk mereka yang ingin meningkatkan kesadaran spiritualnya. Karena dalam tidur ,orang lupa segalanya, sudah tidak sadar. Maka ada orang tua yang mengatakan bahwa tidur itu saudaranya mati. Cobalah direnungkan.

Bagi yang sudah dewasa, melakukan sanggama juga supaya pakai ukuran, jangan terlalu sering dan dilakukan hanya dengan pasangan resminya.

Selama hidup supaya bekerja dengan baik, yang positif sifatnya, suka menolong sesama, berbudi pekerti luhur dan selalu manembah kepada Tuhan Yang Maha Welas Asih.

Paling tidak seorang manusia yang ingin kehidupan baik lahir batin, harus mempunyai kehidupan yang imbang – The Balance of Life, dalam hal keduniawian dan spiritualitas.

Kalau itu semua sudah mampu dilalui, barulah punya kemampuan untuk mempelajari Sastra Jendra, pengetahuan spiritual yang tinggi tatarannya.

Sastra Jendra berasal dari kata Sastra Harjendra. Sastra artinya pengetahuan; harjendra dari raharja artinya selamat sejahtera dan endra artinya dewa. Jadi Satra Harjendra yang disingkat menjadi Sastra Jendra adalah pengetahuan para dewa untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.

Pada zaman dahulu kala, Sastra Jendra adalah ilmu puncak yang hanya boleh diketahui dan dipakai para dewata, tidak boleh diketahui dan digunakan oleh manusia.

Dari segi pengamatan sastra-sastra/ kepustakaan agung Jawa, ada sebuah karya klasik yang berjudul Arjuna Sasrabahu, dari pujangga Yasadipura dan Sindusastra. Didalam karya tulis itu ada kalimat yang menarik dan bernilai penting, bunyinya :  Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu..

Yang bermakna : Ilmunya para dewa untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dengan

cara membebaskan diri ( pangruwat) dari kebutaan sehingga mampu membedakan yang baik dengan yang buruk.( diyu).

Kebatinan atau spiritualitas tempo dulu memang sarat dengan kalimat-kalimat yang samar atau memang sengaja dibuat samar. Sehingga hanya orang yang sungguh-sungguh serius belajar yang bisa menemukan.

Kalimat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, inti artinya adalah : Manusia yang samadinya diterima Gusti! Sungguh sederhana maksudnya, pada saat ini, karena sekarang adalah masanya Sastra Ceta – pengetahuan yang jelas terbuka, tidak lagi ditutup- tutupi atau dirahasiakan.
 
Jelas sekarang maksudnya bahwa orang yang sudah menguasai Sastra Jendra adalah manusia yang telah mengetahui jati dirinya, telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya/Higher- Self,yang telah

Mengetahui Kasunyataaning Urip, Kehidupan Sejati, Realitas Kehidupan lahir batin.

Seorang spiritualis yang telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya atau yang telah berhasil berkumpul kembali dengan pribadi Sejatinya, Higher Self-nya sehingga mengetahui rahasia kehidupan, tentu tidak akan menyia-nyiakan hidupnya didunia ini .Dengan kesadaran spiritualnya yang sejati dia akan selalu berbuat positif konstruktif, menolong sesama dan aktif memelihara planet bumi, istilah Kejawennya: Memayu Hayuning Sesama lan Buwono.

 

JagadKejawen,

Suryo S. Negoro