LETAK CANDI
Berbagai peninggalan sarana ritual agama Hindu maupun agama Buddha banyak ditemukan di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Sarana ritual tersebut berupa bangunan suci yang disebut candi, berbagai kolam suci yang disebut patirthan dan gua-gua pertapaan. Salah satu peninggalan yang sangat penting tidak saja bagi umat Buddha tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia adalah sebuah bangunan suci yang dikenal sebagai candi Borobudur, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia (World Heritage) pada tahun 1991.
Candi ini terletak didesa Bumisegoro, dekat Magelang, disebuah bukit yang ada di antara bukit Dagi dan sebuah bukit kecil lainnya, dan di sebelah selatan bukit Menoreh. Kira-kira 2 kilometer sebelah timurnya terdapat pertemuan dua buah sungai yaitu sungai Progo dan sungai Elo.
Menarik perhatian adalah bahwa candi Borobudur terletak pada satu garis lurus dengan dua candi Buddha lainnya, yaitu candi Pawon dan candi Mendut. Menurut beberapa pendapat hal ini terkait dengan kepercayaan tertentu dalam agama Buddha. Letak candi di atas sebuah bukit atau tempat yang ditinggikan dan dekat dengan pertemuan dua buah sungai, merupakan pilihan yang tepat sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab Vastusastra. Salah satu Vastusastra yang mungkin dikenal oleh para seniman Indonesia adalah Vastusastra versi India Selatan yang disebut Manasara.
Ada temuan-temuan dihalaman candi berupa stupika tanah liat, meterai tanah liat bergambar Tara dan Buddha Tathagatha yang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan. Ditahun 1952 ada penemuan lain berupa fondasi bangunan, sejumlah paku, besi, pecahan gerabah dan tembikar halus, sebuah genta , dan sebagainya, yang menunjukkan kemungkinan adanya vihara untuk para bhiksu pengelola candi yang terletak diluar halaman candi.
PENEMUAN DAN PEMUGARAN CANDI
Candi Borobudur baru ditemukan kembali pada tahun 1814, ketika Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Jawa mendapat laporan tentang sebuah candi bernama Borobudur, di desa Bumisegoro dekat Magelang. Kemudian ia menyuruh Cornelius, seorang Insinyur Belanda untuk meneliti candi tersebut. Cornelius menyuruh orang menebangi dan membersihkan candi dan sekitarnya dari semak belukar dan pekerjaan selesai dalam waktu dua bulan. Apa yang dilakukan oleh Cornelius ditulis dalam kitab Stamford Raffles yang terkenal yaitu “The History of Java” terbit tahun 1817 .
Hartmann, residen Kedu sangat tertarik dengan Borobudur dan tahun 1835 menyuruh membersihkan candi. Wilsen tahun 1853, yang mengatakan bahwa Hartman menyuruh bongkar stupa puncak, dan menemukan sebuah arca Buddha yang belum selesai, dan benda-benda lain termasuk sebilah keris Di samping itu Wilsen mendapat tugas membuat gambar-gambar tentang candi Borobudur. Selanjutnya banyak orang-orang Belanda yang meneliti dan menulis tentang Borobudur.
J.W.Ijzerman tahun 1885 membuka dasar candi dan ia menemukan sejumlah relief. Pada tahun 1890-1891 seluruh relief yang kemudian dikenal sebagai relief Karmawibhanga sebanyak 160 buah panil difoto seluruhnya oleh K.Cephas, kemudian bagian ini ditutup kembali.
Th van Erp dan N.J. Krom menyusun tulisan lengkap tentang candi Borobudur dan yang baru diterbitkan tahun 1927 dan 1931. Dua karangan tersebut sangat penting untuk penelitian candi Borobudur.
Pada tahun 1975 Siswadhi dan Hariani Santiko menyusun “Anotated Bibliography of Borobudur”, dari laporan awal Borobudur ditemukan, hingga karangan-karangan tahun 1975, yang jumlahnya sangat banyak, tetapi hingga saat ini “Anotated Bibliography of Borobudur”, belum pernah diterbitkan, sehingga karangan-karangan setelah 1975 belum sempat disusun lagi.
PEMUGARAN
Ketika ditemukan, keadaan candi Borobudur sangat menyedihkan, oleh karena itu pada tahun 1907 Van Erp seorang insinyur militer Belanda, memugar bagian candi yang berbentuk bulat yaitu tingkat 7, 8, dan 9. Stupa-stupanya disusun kembali, dan pekerjaannya ini selesai pada tahun 1911.
Borobudur telah berdiri megah lagi selama hampir 50 tahun, tetapi kemudian rusak kembali karena proses alam dan kimiawi.
Bagian-bagian candi yang belum tertangani oleh Van Erp yaitu tingkat 2,3,4,5,6, melesak dan dindingnya miring.
UNESCO dan lembaga-lembaga lainnya membantu pemugaran Borobudur kembali dibawah pimpinan Prof.Dr.R.Soekmono, dibantu dari segi konstruksi oleh Ir. Rooseno. Pemugaran kedua ini dimulai pada tahun 1973 dan selesai pada tahun 1983.
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN AGAMA
Bilamana candi Borobudur didirikan tidak ada keterangan yang pasti. Dari penelitian bentuk huruf Jawa Kuna yang dipakai menulis inskripsi pendek-pendek di atas panil relief Karmawibhanga, candi didirikan pada abad IX, didirikan oleh seorang raja Sailendra, yaitu raja Samaratungga beserta puterinya bernama Pramodhawarddhani. didasarkan pada prasasti Karang Tengah dan prasasti Sri Kahulunan.
Latar belakang agama candi Borobudur adalah perpaduan ajaran Buddha Mahayana dengan Tantrayana , dengan meditasi filsafat Yogacara. Bentuk agama Buddha semacam ini mirip dengan agama Buddha yang berkembang di Bengal India, pada waktu pemerintahan raja-raja Pala pada sekitar abad VIII.
STRUKTUR BANGUNAN
Candi Borobudur secara keseluruhan terlihat sangat istimewa, baik dalam hal ukuran, tehnik penyusunan batu, maupun dari segi pemahatan relief dalam hal kwalitas maupun kwantitas , pemilihan jenis cerita, arca-arcanya dan sebagainya. Candi berdenah bujur sangkar dan secara keseluruhan berukuran 123 x 123 meter, tinggi asli (dengan chattra, yaitu bagian atas chaitya puncak) 42 m, tanpa chattra menjadi 31 meter.
Candi terdiri atas 10 tingkatan, 6 tingkat di bawah berdenah bujur sangkar dengan catatan ukuran makin ke atas makin kecil, dan tingkat 7,8,9, berdenah hampir bundar, diakhiri oleh stupa puncak yang besar. Secara keseluruhan candi Borobudur berbentuk stupa, tetapi mempunyai struktur berundak teras.
Pondasi candi Borobudur dibuat berbeda, candi didirikan langsung di atas bukit, yang dibentuk sesuai dengan bentuk candi yang dikehendaki dengan cara memotong bagian candi yang tinggi dan mengurug bagian bukit yang rendah. Pondasi bagian candi terluar dibuat masuk ke dalam tanah sedalam kurang lebih satu meter tertumpang di atas lapisan batu karang, sedangkan bangunan di atasnya tertumpang di atas beberapa lapis batu.
RELIEF DAN ARCA
Seperti telah disebut terdahulu, candi Borobudur dihias dengan relief cerita, dan relief ornamental yang kaya. Relief cerita menggambarkan adegan-adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari, yang dipahat pada bagian-bagian candi, seperti tertera di bawah ini:
1. Kaki candi tertutup - dinding candi - Karmawibhanga (160 panil)
2. Lorong 1, tingkat 2 - dinding candi - Lalitawistara (120 panil)
- Jataka/Awadana (120 panil)
- Jataka/Awadana (372 panil)
- Jataka/Awadana (128 panil)
3. Lorong 2, tingkat 3 - dinding candi - Gandawyuha (128 panil)
- pagar langkan - Jataka/Awadana (100 panil)
4. Lorong 3, tingkat 4 - dinding candi - Gandawyuha (88 panil)
- pagar langkan - Gandawyuha (88 panil)
5. Lorong 4, tingkat 5 - dinding candi - Gandawyuha (84 panil)
- pagar langkan - Gandawyuha /Bhadracari (72 panil)
Karmawibhanga. Relief Karmawibhanga atau yang sering disebut Mahakarmawibhangga dipahat di atas 160 panil yang menggambarkan ajaran sebab akibat, perbuatan baik dan jahat, setiap panil menggambarkan adegan tertentu dan bukan cerita naratif (beruntun).
Adegan-adegan dalam panil tersebut sangat penting untuk melihat perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna.
Relief Karmawibhanga ini tidak tampak seluruhnya, karena tertutup oleh “kaki candi kedua” yang lebar, hanya relief pada sisi selatan dibuka sedikit untuk dilihat oleh pengunjung.
Apa sebab diberi batu penutup yang lebar ini, belum jelas. Apakah batu penutup yang lebar ini dipakai untuk menahan melesaknya candi, atau menutup bagian gambaran tentang nafsu keduniawian yang mungkin dapat mengganggu konsentrasi mereka yang sedang menjalani tingkatan 10 jalan Bodhisattwa untuk mencapai tingkat ke Buddha-an ?
Relief Lalitawistara (120 panil), berupa relief cerita yang dipahat secara berkesinambungan di dinding candi lorong I tingkat 2. Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama sejak lahir sampai keluar dari istana, mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi dan diakhiri pada ajaran pertama di Taman Kijang dekat Benares.
Jatakamala-Jataka dan Awadana Jataka menggambarkan peristiwa dan perbuatan Buddha pada kehidupan yang lampau, ditulis oleh Aryasara pada abad ke-4. Digambarkan Buddha dalam berbagai reinkarnasinya baik sebagai manusia, maupun binatang, memberikan contoh-contoh kebajikan dan pengorbanan diri. Awadana adalah cerita Jataka pula, tetapi tokohnya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara.
Gandawyuha, merupakan cerita yang sangat penting, menggambarkan Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang mencari kebenaran. Ia bertemu berbagai pendeta dan Boddhisatwa, termasuk Siwa Mahadewa. Pada bagian akhir Gandawyuha dikenal sebagai cerita Bhadracari, menampilkan sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai contoh hidupnya.
Relief ini hanya sampai pagar langkan lorong ke-5 di tingkat 6, sedangkan tingkat 6 ini disusul oleh tingkat 7,8,9, yang berbentuk hampir bulat dipenuhi stupika-stupika berterawang, dan diakhiri dengan stupa puncak, sebagai tingkat 10.
KAMADHATU-RUPADHATU- ARUPADHATU
Mengapa candi Borobudur dibuat 10 tingkat, terdapat pendapat-pendapat yang meninjau dari sudut simbolismenya. Misalnya W.F Stutterheim menganggap bahwa sepuluh tingkatan itu sebenarnya dapat di bagi menjadi tiga bagian sesuai dengan konsep dhatu yaitu tahapan yang harus dilalui oleh mereka yang ingin mencapai Ke-Buddha-an.
Tahapan-tahapan itu adalah kamadhatu-rupadhatu–arupadhatu, dan ketiga dhatu tersebut dilambangkan oleh kaki candi dengan relief Karmawibhanga sebagai kamadhatu, tingkat 2,3,4,5,6, dengan relief-relief Lalitawistara-Jataka-Awadana-Gandawyuha dan Bhadracari sebagai rupadhatu, dan tingkatan 7,8,9,10 adalah lambang arupadhatu.
10 TINGKATAN BODHISATTWA
Sementara itu, de Casparis menghubungkan 10 tingkatan Borobudur dengan 10 tingkatan Bodhisattwa (dasabodhisattwabhumi) ajaran yang terdapat dalam sebuah sutra yaitu Dasabhumika-sutra, yang mengajarkan apabila seorang bodhisattwa ingin mencapai tingkat Ke-Buddha-an harus melalui tingkatan 10 tersebut.
Di samping relief baik relief ornamental maupun relief cerita, candi Borobudur juga dilengkapi dengan arca-arca Buddha Tathagatha, di tingkat 7, 8, 9 seluruhnya berjumlah 504 buah.
Arca-arca Buddha yang menghias pagar langkan berjumlah 432, mempunyai perbedaan pada sikap tangan (mudra) sesuai dengan arah hadap arca, misalnya arca Amoghasiddha menghadap utara mempunyai sikap tangan abhayamudra, di sebelah selatan Ratnasambhawa mempunyai mudra varamudra, di sebelah barat Amithaba mempunyai sikap tangan dhyanamudra dan sebelah timur Aksobhya mempunyai sikap tangan bhumisparsamudra.
Arca-arca Buddha Tathagatha yang ada di relung pagar langkan tingkat 5 bermudra witarka-mudra, sedangkan arca-arca Buddha yang ada di dalam stupa berterawang di tingkat 7,8,9, mempunyai satu mudra pula yaitu dharmacakramudra.
SIAPAKAH PARA SILPIN (SENIMAN) CANDI?
Belum lengkap rasanya dalam pembahasan arsitektur candi Borobudur bila tidak menyinggung para seniman pendiri candi di Jawa umumnya dan candi Borobudur pada khususnya ? Dari penelitian yang telah dilakukan, adalah jelas orang Indonesia sendiri yang mendirikan candi-candi tersebut. Menurut 2 buah prasasti, orang-orang Indonesia dahulu ada yang belajar agama di India, dan mungkin jumlahnya banyak, sehingga ada seorang raja Sriwijaya minta kepada raja dinasti Pala untuk membuat asrama bagi pelajar Indonesia di Nalanda. Mereka belajar tentang aturan-aturan membuat bangunan suci beserta komponennya dari kitab Vastusastra, kemudian mengunjungi pusat-pusat kesenian di India Utara dan/atau India Selatan, lalu pulang ke Indonesia. Borobudur dibuat oleh seniman Indonesia dan bukan seniman India dibuktikan antara lain oleh:
Pertama: Adegan-adegan relief Borobudur, khususnya cerita Mahakarmawibhanga, banyak mengambil kehidupan sehari-hari di Jawa (bekerja di sawah, jualan dipasar, memikul padi atau benda-benda yang akan dijual belikan dan sebagainya).
Kedua: Diatas panil terdapat inskripsi pendek-pendek sebagai petunjuk bagi seniman yang ditulis dalam aksara Jawa Kuna (dan bukan Deva-Nagari !) serta bahasa atau kata-kata Jawa Kuna pula (bukan Sansekerta).
Ketiga : Ketika dilakukan penggalian di sekitar candi, tidak ditemukan sisa-sisa “Kampong Keling” atau permukiman orang-orang India.
Pendirian candi Borobudur memakan waktu lama, maka si seniman pendiri bangunan haruslah bermukim di sekitar candi yang dibangun.
Jagad Kejawen,
Prof. DR. Hariani Santiko