English (United Kingdom)Indonesian (ID)

Tempat Suci Masa Majapahit II

Bangunan dengan kaki berundak teras tiga, dengan kadang-kadang diberi penguat di bawahnya, tidak memiliki tubuh candi. Sebagai ganti tubuh, di atas teras teratas terdapat 1-3 altar, atau 2 altar dan satu miniatur candi, tanpa arca. Tepat di tengah-tengah teras terdapat tangga naik tunggal menuju altar di teras teratas. Candi jenis kedua ini terletak di lereng gunung, seringkali nampak “menempel” di lereng tersebut.(foto 6.)

Misalnya candi-candi di lereng gunung Penanggungan yang disebut gunung Pawitra dalam Nagarakrtagama.

Di samping bangunan dengan kaki berundak teras, terdapat beberapa candi yang tidak bisa dimasukkan ke dalam dua kelompok di atas, karena kaki candi hanya berbentuk seperti  lapik (alas) dengan atau tanpa tubuh candi , misalnya candi Tegawangi dekat Pare, dengan dua altar dan satu miniatur candi misalnya candi Kotes (foto 7).

Namun ada candi yang mempunyai bentuk tersendiri, misalnya candi Sukuh yang berbentuk mirip yoni, candi Naga di kompleks Panataran berbentuk ruangan tanpa atap.

Tidak hanya struktur candi yang berbeda dari masa sebelumnya, juga berbagai tokoh dimunculkan pada waktu ini.  Misalnya tokoh Punakawan dan Emban di beberapa dinding candi, antara lain di candi Tegawangi.

Jika ditilik cara penggambarannya, menurut Edi Sedyawati, pada umumnya mempunyai ciri yang dekat dengan wayang kulit.  Ciri ini terlihat  pada penggambaran kedua kaki tokoh yang sama sekali miring ke satu arah, dada menghadap ke depan (ke pengamat), dan wajahnya miring atau ¾ miring.  Apabila tokoh dihadapkan ke kiri, upawita-nya (tanda tali kasta) melalui bahu kiri, tetapi apabila di hadapkan ke kanan berubah melalui bahu kanannya, sesuai wayang kulit jika diubah-ubah oleh sang dalang.

Di samping itu, relief pada jaman Majapahit mempunyai peranan penting terkait dengan fungsi candi. Ragam  hias  candi ada dua jenis, yaitu ragam hias  pelengkap bangunan dan ragam hias penghias bangunan. Ragam hias pelengkap bangunan terkait dengan keseimbangan struktur candi, sedangkan ragam hias bangunan pada umumnya berupa relief cerita yang diambil dari karya sastra Jawa Kuna maupun Jawa Tengahan.

Cerita yang dipahat biasanya terkait dengan fungsi bangunan suci tersebut. Sebagai contoh relief cerita yang bertemakan kalepasan (moksa) dipahat di dinding candi-candi yang berfungsi sebagai  pendharmaan (tempat di dharmakan)  raja yang wafat, dengan tujuan agar arwah raja cepat mencapai moksa. Misalnya cerita Sudamala yang dipahat di dinding candi Tegawangi pendharmaan raja Matahun, paman Hayam Wuruk.

Cerita Sudamala berintikan cerita penebusan dosa (lukat, ruwat) Durga Ranini yang merupakan bentuk kutukan Uma oleh Bhatara Guru karena selingkuh dengan dewa Brahma.  Setelah  12 tahun  tinggal di kuburan Setra Gandamayu, Durga Ranini di ruwat oleh Sadewa dan Bhatara Guru, sehingga dosanya hilang dan menjadi Uma yang cantik kembali.(foto 8.)

Di kompleks candi Sukuh terdapat cerita Bhimaswarga, cerita tentang Bhima mencari air amrta ke sorga  Siwa untuk arwah Pandu dan Madrim. Setelah berperang melawan bala tentara Yama, Bhima berhasil diberi air amrta oleh Siwa. Oleh karenanya di candi Sukuh Bhima dianggap sebagai mediator antara manusia dan Siwa bagi mereka yang ingin mencapai moksa (foto 9).

Majapahit menjadi pusat percampuran budaya India dan budaya lokal. Banyak mitos tentang dewa-dewi  yang tidak pernah terdengar di India sendiri, dijumpai di Jawa.

Orang Majapahit dengan sadar menciptakan dewa-dewi baru dan dalam karya sastra bernama Tantu Panggelaran secara implisit disebut perubahan terjadi, karena “dewa-dewi Jambhudwipa (India) telah menjadi dewa-dewi Jawa” karena puncak gunung Mahameru telah dipindah ke pulau Jawa.

Hal ini mengakibatkan muncul budaya Majapahit yang sangat unik.  Misalnya candi-candi berstruktur berundak-teras tiruan Mahameru muncul di mana-mana, antara lain  candi Jago, candi Rimbi, candi induk Panataran, candi-candi para resi di lereng-lereng gunung. Demikian pula relief rasaksi Durga Ranini yang bertaring, berambut gimbal, mata melotot, tinggal di kuburan, terdapat di relief candi Tegawangi dan candi Sukuh. Cerita Uma selingkuh sangat mengherankan, karena di India, Uma dianggap sebagai panutan isteri yang setia.

Bagaimana dengan fungsi candi-candi masa Klasik Muda?  Fungsi  candi-candi sebelum masa  Singasari belum diperoleh, maka fungsi candi masa Singasari dan Majapahit yang akan dibicarakan disini. Melihat fungsinya, candi-candi masa  Singasari dan Majapahit  kita kelompokkan menjadi dua:

  • Candi-candi yang mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai kuil pemujaan dewa, dan sebagai pendharmaan raja dan keluarganya. Kata pendharmaan berasal dari kata “dharma” yang berarti “kewajiban” dalam agama Hindu.

Dharma seorang  raja adalah mendirikan  sebuah bangunan suci, dan memperbaiki bangunan suci yang telah rusak. Setelah mendirikan bangunan suci dan raja tersebut wafat, maka dibuatkan arca berwujud dewa pelindungnya (istadewata), dan arca perwujudan tersebut diletakkan di dalam ruang utama (garbhagrha) candi yang telah disiapkan (didirikan) oleh raja yang wafat, sebagai dharma raja tersebut. Dewa pelindung (istadewata) bisa  dewa tertinggi atau dewa-dewa tertentu pilihan seseorang. Raja-raja Singasari dan Majapahit seringkali diwujudkan sebagai arca Siwa dan sekaligus arca Buddha, karena bukankah dua dewa  tersebut adalah wujud dari yang satu yaitu Hakekat Tertinggi ?

Dalam karya sastra Jawa Kuna, moksa disebut sebagai mantuk atau mulih ing dewapada (pulang ke kaki dewa). Dengan dibuatnya arca perwujudannya dalam wujud Siwa dan Buddha, berarti arwah raja tersebut telah menyatu dengan dewa pelindungnya, telah mencapai  moksa.

Candi pendharmaan pada masa  Singasari adalah candi Kidal, pendharmaan raja Anusapati, candi Jago, pendharmaan raja Wisniwarddhana, dan mungkin pula candi Singasari pendharmaan raja Krtanagara. Adapun  candi berfungsi ganda pada masa Majapahit mempunyai struktur yang  khas, yaitu kaki candi berteras tiga dan ada ruang utama (garbhagrha) pada tubuh candi untuk menempatkan arca perwujudan. Contoh adalah candi Jago dekat Tumpang, Malang, dan candi Rimbi dekat Jombang (foto 10.)

Perkecualian terdapat pada candi induk Panataran, walaupun memiliki tubuh candi dengan garbhagrha, namun tidak untuk menempatkan arca perwujudan raja tertentu, karena candi Panataran adalah candi Kerajaan bukan candi pendharmaan.  Hingga sekarang belum diketahui arca utama candi itu.

  • Candi-candi kelompok kedua ini hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan.  Termasuk kelompok ini adalah candi-candi milik para rsi, yang kebanyakan ada di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Penanggungan, gunung Arjuna, gunung Wilis, gunung Lawu, termasuk candi Sukuh, merupakan candi para resi  yang dipakai untuk upacara penyucian diri agar bisa segera mencapai kalepasan (moksa).

Telah dikemukakan di atas, di candi Sukuh ini Paramasiwa sebagai dewa yang dipuja, namun Bhima dianggap sebagai mediator antara manusia dan Siwa, yang menolong manusia untuk mencapai  moksa, oleh karenanya dianggap tokoh penting. Arca Bhima dahulu pernah ditemukan, tetapi diletakkan di samping candi induk Sukuh, sedangkan yang di atas candi induk adalah sebuah lingga besar yang sekarang disimpan di museum Nasional Jakarta.


JagadKejawen,

Prof.DR. Hariani Santiko