Segala kebutuhan hidup mahluk manusia dibumi ini termasuk yang menempati pulau Jawa, sejak masa purba selalu dipenuhi oleh alam. Keadaan dibumi dengan segala elemennya : tanah, air, udara, api, dengan berbagai vegetasi dan hewan, sudah kondusif untuk dihuni manusia.
Tentu saja lingkungan alam masih segar dan serba bersih. Hutan belantara dan berbagai tumbuhan pakan ada dimana-mana, sementara kelompok manusia masih sedikit sekali. Makanan, tempat tinggal, langsung didapat dari alam. Sepanjang tahun, disegala musim, tidak pernah kekurangan makanan dan selalu mendapatkan perlindungan yang cukup untuk mempertahankan diri dan melanjutkan eksistensinya.
Sawah beririgasi
Salah satu karya agung nenek moyang orang Jawa adalah penanaman padi dengan sistim irigasi, dibuat sawah yang diairi – wet rice cultivation.
Dalam perjalanan waktu, perkembangannya selalu berjalan secara alami, sesuai kebutuhan disetiap saat. Tibalah saatnya ketika manusia mulai merasa perlu untuk hidup berkelompok, mulailah terlahir habitat tetap sekelompok manusia dengan membentuk dusun-dusun kecil. Mereka menghuni dataran-dataran rendah dimana persediaan air cukup. Itu diperlukan untuk bersawah, berkebun dan memberi makan ternaknya.
Sebagai tempat perlindungan, mereka tidak lagi menempati gua-gua, tetapi mulai membangun rumah tempat tinggal yang lebih nyaman, yang terbuat dari bahan-bahan yang telah tersedia dialam, seperti bambu, kayu, daun kelapa, tanah liat, batu dll.
Papan, pangan, sandang
Keberadaan manusia didunia, sejak dulu selalu dibantu oleh alam , berupa papan yang memadai, kemudian pangan yang melimpah dan mudah didapat. Dalam perkembangannya , badan fisik juga perlu dilindungi dari hawa dingin dan ancaman alam seperti gigitan binatang, goresan duri dan mulai adanya rasa malu, manusia mulai memakai sandang.
Jadi papan, pangan dan sandang adalah kebutuhan esensial masyarakat manusia sejak zaman purba.
Mudita dan manusia
Pinisepuh Kejawen menyatakan bahwa manusia itu menempati habitatnya dijagatnya para mudita. Mudita artinya manusia pria dan wanita, mahluk paling sempurna didunia, yang keberadaannya didunia tercipta atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Eksistensi mudita terwujud setelah jagat siap ditempatinya sebagai rumah tinggal yang nyaman dimana segala sesuatu yang diperlukan untuk menunjang kehidupannya telah terbentuk.
Oleh Tuhan , Sang Pencipta, mudita diberi kuasa untuk menamai semua hal yang ada didunia ini,
baik yang berupa benda maupun yang berupa sifat dan rasa.Muncullah kata-kata seperti : beras, air, tikar, kuda, matahari, rembulan, bintang, tanah dsb. Juga kata-kata yang berhubungan dengan rasa seperti : manis, pahit, asam, senang, susah, dekat, jauh dsb. Coba bayangkan , seandainya tidak ada mudita, maka semua kata-kata dan bahasa , tidak ada – ora kocap, bahasa Jawanya.
Sesuai perkembangan, kini jagat telah dihuni banyak mudita, ini sesuai dengan pemahaman Kejawen : Witing rame saka sepi, witing gumelar saka sonya. –Asal ramai dari sepi, jagat yang tergelar berasal dari kosong.
Mulai saat itu, boleh dibilang, para mudita adalah mahluk terpenting yang menguasai kehidupan didunia ini.
Manusia
Dalam perkembangannya, pinisepuh Jawa menamakan orang dengan “manusia”. Kata manusia itu berasal dari kata manu yang artinya malu dan swa artinya hewan. Maksudnya jelas bahwa manusia itu adalah orang yang punya rasa malu, bukannya seperti hewan yang tidak punya rasa malu.
Pemahaman sejati apa itu “manusia” adalah salah satu dasar filosofi Kejawen. Orang yang punya rasa malu, manusia, adalah orang yang punya harga diri. Kalau orang tidak punya malu, hilang sifat manusianya.
Negeri Kabuyutan
Manusia semakin berkembang, tumbuh secara alami, otaknya menjadi lebih pandai. Tatacara kehidupan mulai ditata dengan sadar secara bergotong royong supaya kehidupannya terjamin, aman dan rukun.
Sejak 10.000. tahun S.M., sistim sawah irigasi telah dilakukan para petani Jawa. Sejak mereka mengenal kelompok kehidupan didusun-dusun, mulailah dikenal pemerintahan desa. Pemimpin yang dihormati dan ditaati adalah para pinisepuh. Secara nalar, orang yang lebih tua, tentulah lebih banyak pengalamannya dan lebih bijak. Sejak dulu, sudah menjadi tradisi orang Jawa untuk menghormati pinisepuh.
Lalu dimana negeri Kabuyutan yang dipimpin Dewan Pinisepuh berada? Biasanya didirikan disuatu dataran yang subur, ada sungai mengalir, atau ditepi danau atau rawa, disitu berdiri sebuah negeri dengan sistim Kabuyutan.
Sebuah negeri Kabuyutan terdiri dari lima buah desa. Letak desa-desa tersebut disesuaikan dengan arah angin.
Pusat negeri berada didesa yang terletak ditengah empat desa lain yang mengelilinginya. Kelima buah desa yang disebut negeri Kabuyutan itu dikepalai oleh seorang Kepala Negeri yang disebut Kliwon, artinya orang bijak. Desa yang ditengah juga disebut Kliwon. Kepala Negeri dipanggil Buyut oleh warganya.
Buyut artinya kakek buyut, tentu seseorang yang sudah sepuh usianya, sudah punya anak dan cucu.Keempat desa yang lain mengitari desa Kliwon yang berada ditengah, yaitu :
Desa yang sebelah timur dinamakan Legi.
Desa yang sebelah selatan dinamakan Paing.
Desa sebelah barat dinamakan Pon.
Desa sebelah utara dinamakan Wage.
Desa-desa Legi, Paing, Pon, Wage , masing-masing dikepalai oleh seorang Kepala Desa yang disebut Lurah, oleh warganya disebut Ki, artinya kakek.
Kepala Negeri yang dinamakan Kliwon dan para Kepala Desa yang disebut Lurah, adalah para pinisepuh negeri, mereka adalah orang-orang yang dituakan artinya dihormati, dituruti segala perintah dan nasihatnya oleh seluruh warganya.
Perangkat negeri lainnya
Kliwon dan Lurah dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh pejabat-pejabat yang lain, yang penting , antara lain :
Carik, kalau sekarang Sekretaris Jendral, yang mempunyai catatan tentang peraturan dan hal-hal yang diputuskan oleh Negeri.
Mantri Ulu-Ulu,petugas yang mengurusi pengairan sawah. Ini termasuk jabatan kunci supaya para petani mendapatkan jatah pengairan sawah dengan cukup dan adil. Sehingga petani warga desa hidup rukun.
Mantri Jagabaya, petugas yang mengurusi bidang ketertiban dan keamanan.
Pada masa dulu bahaya dan gangguan bisa datang dari binatang buas atau orang-orang yang malas bekerja, tetapi mau hidup enak, lalu mereka jadi maling dan begal, perompak jalanan.Memang dari dulu didunia ini sudah ada baik dan jahat.
Dalam upacara ritual, pelaksanaannya dipercayakan kepada seorang Pandhita, yaitu orang yang mampu menguraikan maksud tujuan ritual dan menguasai tatacaranya.Dalam perkembangannya upacara ritual sering dipimpin seorang priyayi sepuh atau wong tuwo atau wiku.
Sesudah dikenal seni wayang dengan cerita lokal artinya belum dari Ramayana dan Mahabarata, dimasyarakat ada jabatan yang dinamakan Juru Udhalan, orang yang fasih menjelaskan tentang makna suatu ritual.Kata udhalan menjadi dhalan dan selanjutnya dhalang, diberi gelar Ki Dhalang, artinya orang tua yang dihormati dan dipercaya.
Pada zaman wayang mulai dipergelarkan dan menjadi populer, Ki Dhalang memimpin upacara pagelaran wayang yang melambangkan ajaran dan tuntunan hidup yang baik dan benar.
Sejak zaman dulu, sudah ada orang yang karena kegiatan nya menolong orang sakit atau orang yang lagi menderita atau butuh bantuan, disebut dhukun.Dhukun itu seorang ahli atau pawang yang memberi pertolongan dengan pengobatan fisik dan menggunakan jamu/obat ataupun dengan memakai mantra untuk mendatangkan enerji penyembuhan.
Pada dasarnya seorang dukun menggunakan keprigelannya, pengetahuannya, kepandaiannya untuk membantu orang lain dan itu didasari atas pengetahuan alamiahnya, intuisinya atau berdasarkan ajaran pinisepuh.Dalam menunaikan tugas selalu didasari berkah Gusti, Tuhan. Jadi dukun pada umumnya adalah penyalur enerji Ilahiah atau Divine Energy.
Oleh karena itu dimasyarakat dikenal adanya : Dukun bayi, yang menolong kelahiran; Dukun pijat, yang menolong orang yang keseleo atau ingin badannya merasa fit;dukun penyembuh, yang membantu menyembuhkan orang sakit, istilahnya sekarang penyembuh alternatif – alternative healer.
Ada juga dukun yang memberi nasihat kehidupan, menghilangkan gangguan mental, jiwa, yang oleh masyarakat tradisional disebut priyayi sepuh, wong tuwo atau wong pinter, yang istilahnya sekarang disebut paranormal atau psychic.
Perias temanten tradisional, selain merias dan mendandani kedua temanten pria dan wanita ,juga mengurusi seluruh seluk beluk upacara perkawinan, juga disebut dukun manten.
Jadi pada dasarnya profesi dukun itu diperlukan dan diakui, asal dipandang dari sudut pandang positif. Kalau ada dukun “ilmu hitam” yang melayani perbuatan yang tidak baik, seperti melakukan santet, mencari pesugihan –kekayaan dengan salah jalan, itu jelas menyalahi kodrat . Dan lain perkara kalau ada orang yang menyalahgunakan profesinya untuk maksud yang tidak baik.
Hari Pasaran
Letak desa-desa yang disebut : Legi, Paing, Pon , Wage, Kliwon, yang artinya ada di Timur, Selatan, Barat, Utara dan Tengah, ini disebut hari-hari pasaran.Itu juga merupakan hari lima.Ini merupakan hari kalender asli dan yang tertua ditanah Jawa. Waktu itu belum ada hari tujuh Senin sampai Ahad seperti sekarang.
Pada zaman kuno, juga sudah diperlukan tukar menukar produk yang dihasilkan, lalu kemudian ada pembelian dengan imbalan uang logam. Tempat tukar menukar atau jual beli tersebut disebut pasar. Dimasa lalu, karena relatif masih sepi, maka letak pasar digilir, lima hari sekali. Setiap hari Legi, pasar ada didesa sebelah timur, kalau hari Paing diselatan, begitu seterusnya.
Ini juga dipakai kalau ada undangan sarasehan negeri atau rapat. Kalau diadakan pada hari Kliwon artinya tempatnya juga otomatis didesa Kliwon.Jadi mudah untuk dimengerti.
Lima hari asli Jawa itu juga mempunyai arti filosofis yang akan diuraikan tersendiri.
Upacara Merti Desa atau Bersih Desa
Upacara ritual yang terpenting adalah Merti Desa atau Bersih Desa yang diadakan setiap sesudah panen raya padi, setahun sekali. Sebelum ritual, penduduk desa bergotong royong menyiapkan segala hal yang diperlukan termasuk juga membersihkan desa dan memperbaiki segala prasarana desa seperti jalan, saluran air, bangunan desa, makam leluhur dll.
Pada Upacara Merti Desa, semua penduduk dengan sadar, sukarela dan senang hati bersama melakukan:
- Penyembahan bersama kepada Gusti, Sang Penguasa Alam .
- Penghormatan kepada para leluhur desa yaitu nenek moyang yang telah berhasil membangun desa menjadi tempat tinggal yang aman, subur dan makmur hingga masyarakat dapat hidup mapan. Oleh karena itulah ritual Bersih Desa yang selalu dimulai dengan memanjatkan doa kepada Tuhan, selalu juga disertai memohon palilah-ijin para leluhur yang bertempat di Punden-makam leluhur yang dihormati.
- Meminta kepada Danyang Smarabumi desa untuk selalu menjaga desa dan keselamatan penduduk dari segala gangguan jahat, baik dari manusia maupun mahluk-mahluk halus yang jahat.
Bertempat di Balai Desa atau halaman Balai Desa, atau tempat lain yang telah disetujui bersama, setiap upacara Bersih Desa diadakan upacara puja-puji, saat dilantunkan doa dan mantram sakti disertai berbagai macam sesaji dan pembakaran dupa wangi. Wewangian dan keharuman adalah bentuk hormat untuk mengharumkan asma Gusti, leluhur, seluruh warga desa dan desanya.
Dalam ritual Kejawen, bau-bau yang tidak sedap seperti anyir, apek, amis, prengus seperti bau kambing adalah hal yang dikategorikan tidak baik, bersifat rendah dan harus dihindari. Sementara untuk wewangian, harus dipilih yang berbau lembut, menentramkan, bukan wangi yang semegrak-menyengat tajam.
Pada saat Bersih Desa, tempat-tempat yang dipandang suci dan sangat bermanfaat bagi warga, seperti tempat-tempat pemujaan, sungai, mata air, sumur, sawah, ladang, jalan desa, lumbung padi, dan punden-makam leluhur, dibersihkan dan diberi sesaji. Sesaji diberikan dengan memohon ijin terlebih dahulu kepada Gusti Sang Pencipta Alam dan Kehiduan. Pemberian sesaji bertujuan untuk menyalurkan energi alam semesta agar tetap melindungi tempat dan barang-barang tersebut, serta mempertahankan atau bahkan meningkatkan dayanya. Sementara pemberian sesaji pada makam atau PESAREYAN dimaksud untuk menghormati leluhur yang saat ini berada di alam kelanggengan.
Selain tempat-tempat tadi, alat-alat pertanian seperti pacul, luku, arit, ani-ani, alu, lesung, caping, pecut dll, juga dibersihkan dan diberi sesaji. Banyak generasi yang tidak mengerti arti dan maksud sesaji yang dilakukan oleh para leluhur, sehingga menyebut sesaji sebagai hal yang tidak pantas, bahkan dianggap tidak sesuai dengan pemahaman agama tertentu. Namun ada juga mereka yang tetap meneruskan tradisi tersebut, untuk meneruskan kebiasaan orang tuanya hingga timbullah istilah GUGON TUHON singkatan dari DIGUGU lan DITIRU - diikuti dan diteruskan seperti kebiasaan yang telah berjalan.
Oleh karenanya besar harapan pada generasi muda, generasi penerus, agar untuk selanjutnya, setelah mengetahui arti sesaji yang sebenarnya, sebagai anak keturunan orang Jawa, Nusantara, tergugah untuk menghargai dan melanjutkan nilai-nilai warisan leluhurnya. Kalau bukan anak keturunannya sendiri, apakah kita bisa mengharapkan orang lain akan menghargai warisan tersebut? Mohon direnungkan.
Bersih Desa tidak hanya berisi ritual puja-puji dan sesaji, acara Bersih Desa juga melibatkan kenduri lalu kembul bujana-makan bersama dengan makanan dan lauk-pauk yang telah dipersiapkan bersama. Kenduri ini adalah waktu dimana seluruh warga desa guyub rukun berkumpul. Dalam kenduri digelar pentas seni suara, seni tari yang diiringi alunan musik. Jaman sebelum diketemukannya perunggu sampai dengan 2000 SM, alat-alat musik yang digunakan adalah alat musik dari bambu dan lesung kayu seperti kothekan, yang digunakan untuk mengiringi kidung-kidung-tembang-tembang yang berupa pitutur-nasihat dan mantra-mantra untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup. Setelah adanya gamelan, iringan musik selalu dilengkapi dengan tetabuhan gamelan sehingga suasana bertambah meriah.
Selain alat musik, pada saat Bersih Desa digelar tarian untuk memuja Gusti Allah, dan karenanya dipilih remaja-remaja perempuan dan laki-laki yang masih suci. Dalam perkembangannya gamelan dan tari menjadi acara adat untuk seni dan pergaulan. Saat wayang kulit berkembang, upacara Bersih Desa dan banyak upacara-upacara lain dilengkapi dengan Pagelaran Wayang Kulit yang ceritanya disesuaikan dengan makna dan tujuan upacara.
Hal penting yang perlu dicatat tentang ritual Bersih Desa adalah GOTONG ROYONG yaitu kerja sama semua eksponen masyarakat secara spontan dan sukarela dan dengan semangat dan penuh kesadaran lahir batin untuk mencapai tujuan mulia. Dulu, mulanya hanya dalam skop kecil seperti lingkungan warga antar tetangga, desa. Kini berkembang dalam skala negara bahkan dunia. Ini adalah sumbangsih masyarakat Kabuyutan di Pulau Jawa kepada dunia internasional.
Kehidupan Sehari-Hari
Setiap malam, warga yang telah dewasa terutama Kepala dan Ibu rumah tangga, melakukan puja-puji yang kemudian dinamakan Sembahyang, yang pada saat-saat tertentu disertai dengan sesaji. Sembahyang rutin dilaksanakan setiap malam, karena siang hari adalah waktu untuk memenuhi tugas keduniawian yang baik. Tentunya kegiatan yang tidak baik, tidak diperkenankan.
Selain sembahyang, masyarakat Kejawen juga melakukan laku spiritual yang dilakukan untuk lebih mendekatkan hubungan batin dengan Gusti atau ketika seseorang memiliki permohonan keduniawian yang baik seperti keinginan untuk segera mempunyai rumah. Beberapa bentuk laku spiritual adalah:
Cegah dahar: Mengurangi makan atau puasa dan makan dalam jumlah sangat sedikit dalam beberapa hari;
Cegah sare: Mengurangi tidur, hanya tidur sesudah tengah malam sampai sebelum matahari terbit.
Nyenjirik: Berpantang makan makanan atau bumbu tertentu, misalnya nganyep-hanya makan buah dan sayur sedikit tanpa bumbu, garam, gula.
Berpantang melakukan hubungan seks: Seseorang pantang berhubungan meski dengan pasangan yang sah selama 21 hari.
Disaat melakukan laku batin, seseorang tetap harus bekerja seperti biasa dan harus berlaku sopan dan berbuat baik. Sementara pada malam hari, sesudah selesai sembahyang, aktifitas dilanjutkan dengan melakukan samadi dan olah nafas untuk beberapa saat berpasrah total kepada Gusti Yang Maha Welas Asih. Sebelum sembahyang tentunya harus membersihkan bagian-bagian raga seperti muka, tangan, kaki atau sekalian mandi suci.
Sejak jaman Kabuyutan, orang Jawa percaya bahwa air adalah sarana penyucian lahir dan batin yang ampuh. Banyak orang yang melakukan laku batin dengan berendam di kali, di telaga atau di laut, atau istilah Kejawen-nya adalah Semadi Tirta.
Semadi Tirta biasa dilakukan pada malam hari saat waktu tenang dan hening. Di saat terang bulan, terutama saat Purnamasidi yang jatuh pada setiap tanggal 14 bulan Jawa dan saat bulan Purnama pada setiap tanggal 15 bulan Jawa, masyarakat keluar rumah, menikmati duduk-duduk di halaman sambil berbincang dengan tetangga, anak-anak bermain riang, terkadang sambil diseling nembang-nyanyi bersama. Tujuannya, selain untuk kebersamaan dan kerukuan dengan tetangga, adalah juga untuk ngalap berkah-mendapatkan daya/energi dari cahaya bulan dan bintang-bintang yang berguna untuk memperkuat otak batin dan rasa batin karena sejatinya hidup manusia berhubungan atau adalah bagian dari jagat raya ini.
Tata letak, konstalasi planet-planet dan bintang-bintang menjadikan masyarakat belajar tentang Ilmu Perbintangan, arah mata angin dll. Matahari yang cahayanya memberi terang bumi, memberi kehangatan dan api, sangatlah vital bagi kehidupan di bumi, membuatnya sangat dihormati. Oleh karena itu menjelang terbitnya matahari, penduduk Kabuyutan bangun dan menyongsong terbitnya Sang Surya. Demikian juga para penghayat Ilmu Kebatinan atau Spiritualitas Kejawen menyambut kemunculan matahari dengan berdiri di halaman rumah, di pinggir sawah atau di lapangan, menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Pada saat matahari terbit dan cahayanya mulai memancar ke bumi, penghayat Kejawen mengambil sikap berdiri tegak, dengan tangan bersedekap di dada, serta kepala menunduk memohon tuntunan Gusti dan mengucapkan mantra suci, lalu memandang matahari sambil melakukan olah napas, mengagungkan asma Gusti. Latihan spiritual di bawah sinar matahari ini menurut istilah Kejawen disebut SEMADI SURYA. Semadi Surya juga menyehatkan raga fisik karena udara pagi yang bersih dan segar, serta siraman sinar mentari sangat baik untuk kesehatan.
Menyambut datangnya sinar matahari pagi dan hari baru yang cerah, kegiatan masyarakat desa pun dimulai: pintu dan jendela rumah dibuka agar angin segar dan sinar matahari masuk ke dalam rumah, hewan peliharaan dilepaskan dari kandangnya, rumah dan pekarangan dibersihkan, tanaman disiram, diurus dengan cermat. Memulai hari baru, orang-orang dewasa pun memulai kesibukannya masing-masing: ada yang ke sawah, ke ladang, ke pasar dan lain-lain, melakukan kegiatan yang berguna.
Nenek moyang orang Jawa pada masa Kabuyutan mempunyai pola hidup amat sederhana dan pemikiran lugu. Sepanjang hidupnya, mereka melihat dan mengalami bahwa hidup semua mahluk sangatlah bergantung kepada kebaikan alam dan bumi tempat mereka tinggal dan menjalani hidupnya. Mereka menyadari bahwa tanpa unsur-unsur alam, hidup tidak akan ada. Sandang, pangan dan papan, semuanya didapat dari bumi, dari elemen tanah. Bumi digali, ditanami, digunakan untuk mendirikan rumah tinggal. Sawah penghasil padi yang adalah pangan pokok juga berasal dari bumi. Di bumi jugalah tersedia unsur air, yang digunakan untuk minum, mengairi tanaman dan sawah. Ada juga angin, yang tanpanya manusia dan mahluk-mahluk lain tidak bisa bernapas, yang artinya tidak akan ada hidup. Tanpa angin, cuaca dan hawa akan pengap tidak segar, tidak nyaman untuk hidup. Lalu ada juga api untuk memasak dan membuat peralatan dari logam. Dan api, adalah juga unsur alam yang berasal dari matahari.
Unsur-unsur pokok hidup menurut istilah Kejawen adalah Angin, Banyu, Geni lan Lebu- angin, air, api dan tanah adalah hal yang sangat nyata. Oleh karenanya keempat unsur alam tersebut harus diperhatikan dan dirawat dengan sebaik-baiknya oleh manusia. Keempat unsur alam tersebut jugalah yang ada pada badan jasmani manusia: dari angkasa, matahari, bulan dan planet-planetlah Cahaya Hidup dari Zat Yang Maha Suci, turun merasuk menyatu dengan elemen-elemen bumi secara teramat sempurna, sehingga Cahaya Hidup, Hidup Sejati, Suksma memiliki ‘pakaian’ yaitu badan jasmani, hingga lahir menjadi manusia, titah Gusti yang paling sempurna. Keberadaan manusia di bumi yang tidak terlepas dari benda-benda di langit: matahari, bulan, bintang dan planet-planet lain di angkasa raya dalam istilah Kejawennya dikenal dengan istilah BAPA ANGKASA, IBU BUMI.
Untuk mengingat, menghormati proses sakral ini, yaitu Bapa Angkasa, Ibu Bumi, orang Jawa kuno meletakkan ALU di atas LUMPANG di halaman depan rumahnya, yang merupakan perlambang Manunggaling Kawulo Gusti- Manunggalnya Tuhan dengan titah ciptaannya.
Begitulah awal mula kehidupan di jaman Kabuyutan, sebuah kehidupan yang aman, tentram tanpa keserakahan. Semua orang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya yang sederhana, masyarakatnya pun hidup rukun bergotong-royong, egaliter, dengan alam dan lingkungan hidup yang subur terpelihara. Pada jaman kuno, sebelum 3000 tahun SM tersebut itu pula, penduduk Kabuyutan sudah mengenal ilmu perbintangan, sistem persawahan basah dengan irigasi, tenun, batik, perikanan, gamelan dan wayang, yang hingga kini masih terus hidup diantara masyarakat Jawa.
JagadKejawen,
Suryo S. Negoro