Kerajaan Mataram Kuna pindah ke Jawa Timur
Pada abad X dengan alasan yang belum jelas, pusat kerajaan Mataram Kuna dipindah ke wilayah Jawa Timur oleh raja Mpu Sindok bergelar Sri Isanawikrama Dharmottungadewa. Ia adalah pembentuk (wangsakara) dinasti Isana, yang memerintah dari tahun 929 hingga tahun 948 Masehi. Kerajaan yang baru itu tetap bernama Mataram.
Sejak pemerintahan Mpu Sindok, di Jawa berkembang agama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, yang asal muasalnya dari India Selatan, namun di Jawa terjadi beberapa perubahan baik dalam bentuk ajaran maupun ritualnya.
Pada masa pemerintahannya telah disusun kitab-kitab yang disebut Tutur berisi ajaran dan ritual agama Siwasiddhanta, yang tertua di antara Tutur tersebut adalah Tutur Bhuwanakosa. Agama Siwasiddhanta ini menjadi agama raja-raja dinasti Isana sampai dengan raja-raja Majapahit, walaupun ada yang beragama Buddha Mahayana tetapi jumlahnya tidak banyak.
Seperti masa Klasik Tua di Jawa Tengah, sarana ritual berupa candi, kolam suci (patirthan) dan gua-gua pertapaan. Namun sisa-sisa tempat suci itu dari sebelum masa Singasari tidak banyak yang sampai pada kita.
Tempat-tempat suci kita kelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pertama tempat2 suci dari masa pemerintahan Mpu Sindok sampai dengan masa kerajaan Kadiri, kedua tempat-tempat suci masa kerajaan Singasari dan ketiga tempat-tempat suci masa kerajaan Majapahit.
Tempat-tempat suci masa pemerintahan Mpu Sindok sampai dengan masa Kadiri
Nama jenis-jenis tempat suci banyak disebut pada prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok sampai dengan masa Kadiri, namun tidak banyak sisa-sisa sarana ritual tersebut yang diketemukan.. Apa sebabnya tidak jelas, mungkin bangunan-bangunan suci tersebut di buat dari bahan yang mudah rusak, atau memang belum sempat muncul ke permukaan. Pada prasasti kita jumpai nama-nama vihara, prasada (candi dengan atap menjulang tinggi), kabikuan, Sang Hyang Kahyangan, sang Hyang Tirtha Pancuran, patapan, dharma Karesyan dan lain sebagainya.
Beberapa peninggalan dari kelompok pertama ini antara lain kolam suci (patirthan) Belahan di lereng timur gunung Penanggungan, kolam suci (patirthan) Jalatunda di lereng barat gunung Penanggungan, candi Gurah dekat Kediri, gua pertapaan Selamangleng Kediri, gua pertapaan Selamangleng Tulungagung, beberapa bangunan “lumbung” yang ditemukan tersebar di daerah antara Madiun dan Pasuruhan.
Patirthan Belahan, sebenarnya merupakan sebuah kompleks dengan beberapa bangunan candi, namun sekarang tinggal kolam dengan dua buah pancuran berupa dua arca dewi, kemungkinan Sri dan Laksmi.
Di tengah2 kedua dewi tersebut terdapat sebuah relung, yang diperkirakan dahulunya untuk menempatkan arca Wisnu naik garuda dan jelas merupakan sebuah arca pancuran.
Penelitian Th.Resink (1967) membuktikan bahwa patirthan Belahan dibuat oleh Mpu Sindok, jadi lebih tua dari masa Airlangga. Sri dan Laksmi dijadikan pancuran, karena sakti (energi) Wisnu, dan di India sejak jaman Veda, Visnu dianggap sebagai pelindung upacara diksa (penebusan dosa) dengan air suci.
Air pemandian Belahan keluar dari puting susu Sri dan pusar Laksmi berarti itu adalah air suci pembersih dosa.
Patirthan Jalatunda, terletak di lereng sebelah barat gunung Penanggungan, dipahat di dinding karang menghadap ke arah barat.
Kolam berbentuk empat persegi panjang, 16 meter panjang dan 13 meter lebar. Sebuah kolam besar dan dua kolam kecil di sudut kiri-kanan. Di atas kolam sebelah kanan terdapat inskripsi berbunyi “gempeng” yang tidak jelas artinya, dan di atas kolam sebelah kiri terdapat angka tahun 899 Saka.
Di tengah2 terdapat kolam pusat berfungsi sebagai tandon air, dan air mengalir dari dinding karang ke pancuran berbentuk lingga semu sebagai puncak (top piece), yang dikelilingi oleh 8 lingga lebih kecil bervariasi ukurannya. Seekor naga melilit bagian bawah ke sembilan lingga tersebut dan sebuah lapik berbentuk padma menyangga di bawah naga.
Air dari kolam pusat dialirkan ke kolam besar melalui 16 buah pancuran , yang bagian atas dihias dengan panil-panil dengan relief cerita Pandawa dari Adiparwa. Adegan-adegan yang tergambar mulai dari bhagawan Palasara, kakek Pandawa dan dewi Durgandini (panil I-IV), kemudian adegan-adegan Pandawa (panil V-X), Abhimanyu dan Utari, isterinya (panil XI), Pariksit anak Abhimanyu yang meninggal digigit ular Taksaka (panil XII), raja Janamejaya membalas dendam pada ular atas kematian ayahnya dengan menyelenggarakan korban ular atau sarpayajna (panil XIII), pernikahan raja Sahasranika, anak Janamejaya , dengan Mrgawati (panil XIV), Mrgawati yang sedang hamil diculik oleh seekor garuda dan dibawa ke sebuah hutan, (dalam Adiparwa dikatakan bahwa Mrgawati melahirkan anak laki2 bernama Udayana, dan sebagai tanda ia diberi gelang oleh ibunya ) (panil XV), pertemuan Udayana dengan penebang kayu (panil XVI).
Pada lantai kolam telah ditemukan batu peripih, antara lain berisi abu dan benda-benda upacara lainnya yang berupa abu binatang, mungkin binatang yang dikorbankan dalam upacara pendirian patirthan tersebut.
Patirthan banyak terdapat di wilayah Jawa Timur, ada yang memakai pancuran, namun ada pula yang tidak, jadi langsung dari sumber di kolam tersebut.
Patirthan Sanggariti atau sering disebut candi Sanggariti terletak di Batu, Malang, juga merupakan patirthan penting dan diperkirakan berasal dari masa Sindok atau bahkan sebelum Sindok. Air yang keluar dari sumber di dalam ruang candi (garbhagrha) berupa air panas, dan sekarang dimanfaatkan oleh hotel untuk dialirkan ke kamar2 mandi khusus.
Kolam suci merupakan sarana penting dalam ritual keagamaan Hindu maupun Buddha.
Dengan membersihkan diri dengan air suci tersebut akan hilang “kotoran” (klesa) tubuh. Bahkan dalam kitab-kitab Tutur disebut ritual yang dilakukan sebelum menjalankan berbagai puja dan yoga, yaitu membersihkan diri di kolam suci yang disebut dengan istilah matirtha.
Misalnya dalam sebuah kitab kakawin yang disusun pada jaman Kadiri yaitu kakawin Ghatotkacasraya karangan Mpu Sedah dan Panuluh pada waktu pemerintahan raja Jayabhaya, pupuh XXIX:7-10, terdapat cerita tentang Abhimanyu yang ada di hutan, oleh punakawannya disuruh “meta tirtha” agar bersih dari “klesa ning sarira”. Setelah itu Abhimanyu disuruh mengucapkan mantra memuja Paramasiwa.
Gua Pertapaan
Disamping kolam suci, pada jaman Kadiri terdapat gua pertapaan, yaitu gua Selamangleng di Tulungagung, dan gua Selamangleng di Kediri. Di gua Selamangleng Tulungagung terdapat relief cerita Arjunawiwaha pada dinding gua.
Dipilihnya relief cerita Arjunawiwaha pada dinding gua pertapaan bertujuan menghidupkan suasana tapa pada gua tersebut.
Gua Selamangleng Kediri lebih besar dan terdapat 2 ruangan. Dinding ruangan tengah di beri relief pegunungan dan pemukiman, rumah-rumah penduduk di pegunungan tersebut. Menarik perhatian adalah gambaran di dataran di antara bukit2 terdapat gambaran kuburan, tulang-tulang berserakan dan di sekitarnya terdapat beberapa gambaran “lumbung”, yang semula dikira bangunan untuk pemujaan kesuburan padi, ternyata adalah chiti atau tanda penguburan.
Pada masa Jawa Kuna terdapat dua macam penguburan, yaitu dibakar dan abu dilarung di laut atau sungai, dan kedua adalah meletakkan mayat di atas tanah pada tanah kuburan (seperti Trunyan ?).
Kemudian diberi tanda dengan bangunan kecil-kecil dengan inskripsi berbunyi sri atau relief sangkha bersayap di atapnya. Sri sebagai sakti Wisnu adalah dewi kebahagiaan di dunia ini maupun dunia sana, dan sangkha bersayap adalah lambang keluarnya atma dari tubuh.
Apabila raja dan keluarganya meninggal maka dibuatlah arca perwujudannya berupa dewa pelindungnya (istadewata), dan diletakkan di dalam candi dharma-nya, maksudnya candi yang dibangun raja tersebut ketika masih hidup, sebagai dharma (kewajiban) seorang raja.
Namun apabila yang meninggal bukan raja atau keluarganya, maka akan dikubur di sebuah sema (kuburan) dengan meletakkan mayat di atas tanah, maka diberi tanda dengan chiti berbentuk rumah2an yang disebut “lumbung”.
Patirthan dan gua pertapaan terus dijumpai sampai dengan masa Majapahit, karena dalam agama Siwasiddhanta, ditekankan ajaran tentang cara2 mencapai kamoksan,yaitu usaha meleburkan diri dengan Paramasiwa. Pertama perlu dijalankan tata upacara sehari-hari yang konkrit, kemudian baru dilakukan pemusatan fikiran pada yang abstrak , yang dilakukan baik di sebuah patirthan maupun dalam gua-gua pertapaan.
Tempat-tempat suci masa kerajaan Singasari
Kerajaan Kadiri (Daha) runtuh pada tahun 1144 Saka (1222 Masehi) setelah Kadiri dengan rajanya Krtajaya dikalahkan oleh Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa yang bertahta di Kutaraja, ibu kota kerajaan Tumapel atau Singasari. Maka sejak itu dinasti Isana digantikan oleh dinasti Girindra atau dinasti Rajasa sampai tahun 1292 Masehi.
Pada masa kerajaan Singasari ini bermunculanlah candi-candi dengan gaya khusus, yang tertua adalah candi Kidal di desa Rejokidal sekarang.
Menurut kakawin Nagarakrtagama, candi Kidal adalah candi pendharmaan raja Anusapati, raja kedua kerajaan Singasari. Raja Anusapati diwujudkan sebagai arca Siwa (Siwawimbha), yang dahulunya diletakkan di ruang utama (garbhagrha) candi Kidal, sekarang sudah hilang.
Candi Kidal memiliki struktur candi masa Singasari, yaitu memiliki tiga bagian candi kaki-tubuh-atap, tetapi tidak mempunyai selasar atau pradaksinapatha, jalan untuk mengelilingi candi seperti halnya candi-candi di masa Mataram Kuna. Tanpa selasar di antara kaki dan tubuh candi, ditambah dengan atap yang tinggi meruncing dengan kubus sebagai puncak, maka candi Kidal mapun candi-candi lain masa Singasari terlihat ramping.
Dengan perpaduan ragam hias yang serasi, berdasarkan gaya seninya candi-candi ini memperlihatkan gaya seni yang khas dan saya sebut “gaya seni Singasari”. Candi-candi dengan gaya Singasari dengan sedikit variasi terdapat pula pada masa Majapahit.
Salah satu ciri candi Kidal yang juga terdapat pada candi-candi pada masa Majapahit, adalah munculnya ragam hias naga dan garuda. Candi Kidal walaupun candi Saiwa, namun dihias dengan garuda dan naga, bahkan sepasang naga menggantikan sepasang makara sebagai ragam hias bingkai pintu seperti halnya candi-candi Mataram Kuna.
Jadi, apabila pada candi-candi Mataram Kuna pintu dihias dengan kala-makara, maka candi-candi gaya Singasari dihias dengan ragam hias kala-naga.
Ragam hias garuda-naga terkait dengan cerita Garudeya yang menceritakan garuda mencari air amrta untuk menebus ibunya dari perbudakan ibu para naga.(foto)
Air amrta disimpan di puncak Meru dan dijaga oleh sepasang naga, namun dengan kesaktian garuda, amrta bisa diambilnya. Wisnu sangat kagum dengan kesaktian dan keberanian garuda , sehingga garuda diminta menjadi wahana (kendaraan)nya. Dengan adanya motif garuda-naga pada candi-candi masa Singasari dan kemudian pada masa Majapahit, memperlihatkan adanya konsep bahwa candi adalah gambaran Mahameru , tempat tinggal Siwa dan dewa-dewa lainnya.
Candi-candi lain dari masa ini adalah candi Jago, di desa Tumpang Malang, candi Singasari, candi Jawi, dan candi Sawentar. Candi Jago adalah pendharmaan raja Wisnuwarddhana, raja keempat kerajaan Singasari. Candi ini pernah diperbaiki oleh Adityawarman pada masa pemerintahan raja Tribhuwanottungadewi, namun bentuknya berubah disesuaikan dengan struktur candi masa Majapahit (foto).
Adapun dua candi yaitu candi Jawi dan candi Singasari adalah candi yang bersifat Siwa-Buddha yang didirikan oleh raja Krtanagara, raja terakhir kerajaan Singasari. Raja Krtanagara sendiri beragama Buddha Tantrayana, dan karena alasan tertentu, Krtanagara menghidupkan konsep Siwa-Buddha, yaitu suatu pandangan adanya persamaan Hakekat Tertinggi (the Highest Reality) dari agama Buddha, Siwa, Waisnawa dengan segala emanasinya . Hakekat Tertinggi tersebut hanya satu yang disebut dengan berbagai nama, yaitu Bhattara Buddha atau Paramasunya oleh pemeluk agama Buddha, Sang Hyang Paramasiwa, oleh pemeluk agama Siwa, Bhatara Nirguna oleh pemeluk agama Waisnawa dan sebagainya.
Dengan demikian persamaan tidak seluruh sistem agama, karena agama2 tersebut masih tetap eksis dengan masing-masing bangunan sucinya, pendeta2nya maupun penganut masing-masing agama yang melakukan tata upacara sesuai dengan aturan agama masing-masing.
Candi Jawi dan candi Singasari diberi sifat agama Buddha dan agama Siwa, arca-arca Saiwa diletakkan di ruang tengah (garbhagrha) dan ruang2 penampil, sedangkan arca Bhattara Buddha ada di atas tidak nampak karena ia adalah Paramasunya (Kehampaan Tertinggi). Sifat Siwa-Buddhanya terlihat pula pada puncak candi Jawi yang berupa kubus dan stupa.
Dalam kakawin Nagarakrtagama pupuh LXVI dikatakan bahwa Krtanagara menginginkan agar pemeluk agama Buddha dan pemeluk agama Siwa melakukan puja bersama di candi tersebut.
Di samping itu gaya relief candi Jawi juga memperlihatkan keunikannya, karena dibuat pipih dan “en-profile”, sehingga oleh beberapa peneliti disebut gaya wayang.
Berbeda dengan gaya relief candi-candi masa Klasik Tua yang naturalistik, maka sering terjadi salah pengertian bahwa terjadi degradasi pada seni candi Klasik Muda. Hal itu tidak benar, penjelasannya adalah para seniman agama (silpin) masa Klasik Muda mencampurkan konsep lokal pada kreasinya. Menurut Edi Sedyawati, bentuk pipih ini terpengaruh oleh bentuk2 boneka pipih dalam upacara pemujaan arwah (mawayang bwat hyang). Selanjutnya tontonan masa itu meneruskan “tradisi tokoh pipih”, namun membawakan cerita-cerita dari mitos dan epos Hindu. Hal ini berarti terjadi pembauran antara unsur asing (Hindu) dan unsur Jawa asli.
JagadKejawen,
Prof.DR. Hariani Santiko