Garebeg merupakan perayaan ritual yang sangat popular dan disenangi masyarakat. Karaton Jogjakarta dan Surakarta menyelenggarakan prosesi Garebeg, tiga kali dalam setahun, yaitu :
Garebeg Mulud yang diadakan pada tanggal 12 Mulud, pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
Garebeg Sawal yang diadakan pada tanggal 1 Sawal, setelah bulan puasa.
Garebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 Besar, pada hari raya Idul Adha
Pada penyelenggaraan Garebeg, Sultan Jogja dan Sunan Solo memerintahkan aparat karaton masing-masing untuk melakukan upacara tradisional berupa sesaji dalam bentuk gunungan. Sesaji ini merupakan rasa syukur dan permohonan kepada Gusti Allah, Tuhan untuk keselamatan dan kemakmuran negeri, kerajaan dan rakyatnya.
Prosesi Garebeg
Pagi hari dihari Garebeg, ribuan orang telah berada didepan Pagelaran di Alun-alun Utara. Banyak orang telah berderet di Alun-Alun Utara dan Mesjid Ageng, disepanjang 500 meter rute yang akan dilewati arak-arakan- prosesi gunungan.
Dari dalam Pagelaran terdengar alunan musik gamelan, trompet, tambor, lalu muncul barisan prajurit karaton dengan berbagai uniform warna-warni dengan menyandang berbagai senjata tradisional dan bedil-bedil kuno.
Prajurit karaton dari berbagai kesatuan dengan seragamnya yang khas dan indah dan masing-masing kesatuan menyandang bangga lambang dan petakanya masing-masing, berbaris mantap didepan sederet gunungan sesaji yang dikirabkan dari Karaton menunuju ke Masjid Ageng di Kauman.
Di halaman masjid, sesudah upacara doa selesai, gunungan yang berupa sesaji nasi tumpeng, sayur-mayur, buah-buahan, kue-kue dan lain-lain makanan akan dibagikan kepada warga masyarakat yang menghadiri upacara ini. Mereka percaya bahwa sedikit makanan, pemberian ratu memberi berkah keberuntungan dan ketentraman hidup. Oleh karena itu ,untuk mendapatkan sedikit makanan, orang harus mau berebutan. “ Orang yang beruntung” dengan senang hati membawa makanan itu kerumah untuk disantap bersama keluarganya.
Tujuan Upacara Garebeg
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, upacara ritual Garebeg adalah upacara karaton dimana Ratu memberikan sesaji gunungan dengan memohon berkah Gusti Allah untuk keselamatan dan kemakmuran negeri, kerajaan/karaton dan seluruh rakyatnya.
Kata”garebeg” itu sendiri berarti mengawal ratu atau pejabat tinggi karaton untuk menerima pisowanan/audiensi dari keluarga maupun pegawainya selama Upacara Garebeg. Upacara Garebeg yang terbesar adalah Garebeg Mulud pada tahun Jawa Dal. Seperti diketahui Kalender Jawa mengenal adanya 8/delapan tahun yang berputar ,yaitu : Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir.
Untuk sekedar informasi : Tahun 2023 ini sama dengan Tahun Ehe Jawa 1956.
Perayaan Garebeg tahun 2023 ini diselenggarakan pada :
Garebeg Mulud akan diadakan 27 September 2023.
Garebeg Sawal akan diadakan 12 April 2023.
Garebeg Besar akan diadakan 29 Juni 2023.
( Sebaiknya anda tanyakan kepada Biro Perjalanan atau Kantor Pariwisata atau Informasi dari Karaton untuk mengecek tanggal yang tepat).
Perayaan Garebeg adalah satu upacara ritual kerajaan yang telah ada sejak masa kuno yaitu dimasa Jawa Timur/Majapahit diabad ke 12. Sesudah kejatuhan Kerajaan Majapahit diabad ke 15, muncul Kerajaan Demak di Jawa Tengah.
Pada masa awal Demak, Perayaan Garebeg tidak diselenggarakan. Hal ini membuat orang-orang yang sudah terbiasa dengan tradisi tersebut, tidak senang perasaannya. Sunan Kalijaga yang bijak dan peka, menasihati Raja supaya Perayaan Garebeg dihidupkan lagi. Sejak saat itu, Garebeg juga dipakai untuk penyebaran agama Islam. Gamelan ditabuh didekat masjid dan hal tersebut menarik banyak orang.
Sunan Kalijaga adalah seorang Wali yang bijak, tutur katanya sopan dan lembut, beliau mengajak orang untuk masuk Islam tanpa menjelekkan agama dan kepercayaan lain.
Penabuhan gamelan selama perayaan Garebeg disebut ‘Sekaten”. Dari zaman kuno sampai kini, Sekaten tetap menarik banyak orang.
Gunungan
Yang menjadi perhatian dalam Upacara Ritual Garebeg adalah sesaji yang berupa gunungan. Ada 6/enam macam gunungan, yaitu :
Gunungan Lanang
Gunungan Pria yang tingginya 1.5 meter ini diletakkan diatas nampan kayu berukuran 2x 1.5 meter.
Mustoko yaitu bagian atas gunungan dihias dengan Baderan, kue-kue kecil terbuat dari beras dan berbentuk ikan. 5/lima buah rangkaian bunga dari melati dan kanthil digantungkan pada Baderan.
Bendhul yaitu kue-kue dari beras berbentuk bola-bola kecil dan telur-telur asin juga menghiasi bagian atas gunungan. Seluruh badan gunungan ditutupi dengan kacang panjang hijau dan Lombok merah.
Ujung dari setiap deretan kacang panjang hijau dihias dengan kucu, kue kecil dari beras ketan dalam bentuk cincin dan upil-upil yang berbentuk segitiga.
Diatas nampan kayu digelar kain dengan motif Bangun Tulak untuk mengusir gangguan mahluk halus jahat dan gangguan –gangguan lain. Diatas nampan itu diletakkan : 12 buah nasi tumpeng; 4 buah wadah dari daun pisang yang diisi bermacam laik pauk; sepasang daun pisang muda. Disetiap sudut nampan, digantungi dengan rangkaian bunga melati.
Gunungan Wadon
Bagian atas dari Gunungan Wadon atau Gunungan Putri ini berbentuk seperti payung yang terbuka yang dihiasi dengan sebuah kue besar yang rata, dikelilingi oleh rengginan ,kue-kue kecil berbentuk daun dan kuncup bunga. Badan gunungan dihiasi dengan kue-kue dari beras ketan berbentuk bintang, cincin dan segitiga. Dihiasi pula dengan kue-kue lain seperti eblek yang bentuknya persegi; betetan yang seperti paruh burung betet; wajik, kue manis warna cokelat dan berbagai macam buah.
Seperti gunungan yang lain,nampan kayunya juga digelar kain bermotif Bangun Tulak untuk tolak bala. Gunungan Wadon bentuknya mirip sebuah bunga besar.
Gunungan Gepak
Gunungan yang puncaknya rata ini juga diletakkan diatas nampan kayu ukuran 2x 1.5 meter, nampannya juga ditutup dengan kain Bangun Tulak dengan maksud yang sama.
Di atas nampan diletakkan sesaji yang berupa : 40 buah keranjang yang berisi kue-kue dengan lima macam warna ,yaitu : merah, biru, kuning, hijau dan hitam dan berbagai macam buah-buahan.
Gunungan Pawuhan
Gunungan Pawuhan mirip dengan Gunungan Wadon. Dipuncaknya beberapa bendera putih ditancapkan. Badan gunungan dihias dengan bendera-bendera bulat warna hitam.
Gunungan Darat
Puncak gunungan ini juga rata. Beberapa kue warna hitam ditaruh disitu, dikelilingi oleh kue-kue kecil dari beras ketan berbentuk seperti bibir manusia.
Gunungan Kutug/Bromo
Kutug dalam bahasa Jawa artinya membakar kemenyan. Banyak orang yang percaya bahwa kutug/ membakar kemenyan adalah untuk memudahkan komunikasi dengan alam halus.
Gunungan Kutug bentuknya mirip Gunungan Putri, tetapi hiasannya berupa kue-kue dan buah-buahan seperti Gunungan Lanang. Seperti gunungan yang lain ditempatkan diatas nampan kayu yang ditutup dengan kain Bangun Tulak.
Di puncak gunungan ini ada sebuah lobang untuk menempatkan sebuah anglo/tungku untuk membakar kemenyan. Selama parade gunungan, asap kemenyan terus menerus keluar dari gunungan ini.
Gunungan Kutug atau Bromo hanya keluar pada saat Garebeg Mulud ditahun Dal, artinya sekali setiap delapan tahun. Sesaji gunungan Kutug diperebutkan oleh para putri Karaton.
Setiap gunungan yang dikirab diusung oleh 16/enambelas abdidalem/pegawai raja dari Karaton sampai Masjid Ageng. Untuk Gunungan Lanang ditambah dengan 2/dua orang yang mendukung gunungan itu dengan dua buah galah supaya gunungan tetap tegak.
Lalu berapa buah gunungan yang dibuat untuk Perayaan Garebeg?
Pada zaman kuno untuk Garebeg Mulud ditahun Dal dibuat 31/ tiga puluh satu buah gunungan, terdiri dari :
- 10 Gunungan Lanang
- 4 Gunungan Wadon
- 4 Gunungan Pawuhan
- 4 Gunungan Darat
- 8 Gunungan Gepak
- 1 Gunungan Kutug/Bromo
Untuk Garebeg Sawal disiapkan 12 gunungan.
Garebeg Besar disiapkan 30/ tigapuluh buah gunungan (seperti Garebeg Mulud Tahun Dal, hanya tanpa Gunungan Bromo).
Pada saat ini jumlah gunungan yang dikirab lebih sedikit. Karaton Jogjakarta biasanya membuat 6/enam buah gunungan, yaitu : 2 Gunungan Lanang; 1 Gunungan Wadon; 1 Gunungan Gepak; 1 Gunungan Pawuhan; 1 Gunungan Darat.
Puro Pakualaman menerima 1 Gunungan Lanang dari Karaton Jogjakarta.
Karaton Surakarta biasanya mengkirab 4 buah gunungan.
Persiapan Upacara Ritual Garebeg
Upacara Numplak Wajik
Upacara Numplak Wajik menandakan dimulainya perayaan Garebeg. Upacara ini dilakukan di Kemagangan Kidul dikompleks Karaton, disaksikan oleh keluarga raja dan seorang pejabat tinggi Karaton.
Disore hari, beberapa hari sebelum Garebeg, beberapa pegawai karaton memainkan music tradisional yang disebut “Gejogan”, yaitu memukuli lesung kayu dengan alu, mereka menendangkan Tembang Tundhung Setan, sebuah tembang kuno untuk mengusir mahluk halus jahat.
Pembuatan Gunungan
Pembuatan gunungan dilakukan oleh para seniman karaton yang ahli dalam bidang ini. Untuk menghormati tradisi yang sudah berlaku sejak dulu, yang dibuat terlebih dahulu adalah Gunungan Putri, ini untuk menghormati tugas mulia wanita dalam proses kehidupan. Berbagai macam benda disajikan untuk pembuatan gunungan ini ,yaitu ; kosmetik, sebuah sisir, sirih ayu, kain bangun tulak, sehelai kain mori warna putih, sumekan- pakaian penutup dada wanita.
Baru kemudian dibuat jenis gunungan yang lain. Gunungan yang sudah jadi sementara disimpan di Omah Gunungan- Rumah Gunungan yang berada di Kemagangan Timur dan Barat.
Gamelan Sekaten
Untuk Garebeg Mulud, 2 set gamelan dipersiapkan. Gamelan ini dikenal oleh umum sebagai gamelan Sekati yang terdiri dari :
Kyai Gunturmadu yang berarti mendapat berkah yang baik.
Kyai Nogowilogo ,artinya selalu menang dalam perang.
Kyai Gunturmadu berasal dari Karaton Majapahit, Kyai Nogowilogo merupakan duplikat dari Kyai Gunturmadu.
Setiap set gamelan terdiri dari : 1 saron demung, 2 saron barung. 1 saron penerus, 2 bende, I set kempyang, 1 bedug dan 1 gong.
Sebelum tanggal 5 Mulud, gamelan dibersihkan dan diberi sesaji. Para Wiyogo, penabuh gamelan harus menyucikan diri dengan cara berpuasa sehari, mandi suci dan mencuci rambut/keramas, lalu ikut menghadiri Kenduri atau Selamatan, berdoa bersama beberapa orang dengan sesaji berupa makanan untuk mohon selamat dari Gusti Allah, Tuhan.
Dimalam hari pada 5 Mulud, gamelan dibunyikan di Karaton sebagai tanda dimulainya Sekaten. Pertama kali ditabuh dulu Kyai Gunturmadu dengan gendhing/lagu Wirangrong. Pada saat itu beberapa pangeran menyebarkan udhik-udhik yang terdiri dari uang logam, beberapa macam bunga, beras kuning dan irisan-irisan daun pandan kepada pemain gamelan dan gamelan.
Jam 23.00 permainan gamelan dihentikan dan tepat tengah malam jam 24.00, 2 set gamelan tersebut di usung ke kompleks Mesjid Ageng.
Kyai Gunturmadu ditempatkan di Pagongan Kidul dan Kyai Nogowilogo di Pagongan Lor.
Gamelan selalu ditabuh kecuali saat Adzan dan sholat lima waktu.
Pada tanggal 11 Mulud, jam 23.00 tepat, kedua set gamelan itu diangkut kembali ke Karaton.
Prosesi pengusungan gamelan dari Karaton ke Masjid dan sebaliknya dilaksanakan sesuai tradisi yang berlaku, dengan khusuk, dikawal oleh beberapa petinggi karaton dan prajurit-prajurit karaton, merupakan satu prosesi menarik yang disaksikan banyak peminat.
Palace Regalia / Benda-benda Kebesaran Raja
Pihak karaton juga mempersiapkan 9/Sembilan benda emas kebesaran raja, yaitu:
- Banyak ( Angsa) lambang kesucian.
- Dhalang (Kijang) lambang kepandaian.
- Sawung (ayam jago) lambang keberanian.
- Galing (burung merak) lambang kekuasaan.
- Ardawalika (naga) lambang tanggung jawab.
- Kacu Mas ( saputangan emas) lambang kebersihan.
- Kutug ( sebangsa ikan) lambang keindahan.
- Kandhil ( lentera) lambang kecerahan.
- Saput ( kotak perhiasan) lambang kesiapan.
Tanda-tanda kebesaran raja itu akan dibawa oleh Manggung, petugas putri karaton dalam kirab Garebeg.
Ampilan
Ampilan adalah benda-benda kelengkapan Sultan yang bernilai sakral, terdiri dari ;
Dampar Kencono – Kursi Emas, Singgasana Raja
Pancadan - Tempat menapakkan kaki)
Cepuri – Kotak tempat sirih ayu
Wijikan – Tempat cuci tangan
Badak – Kipas dari bulu burung merak
Pusaka
Beberapa benda pusaka seperti keris, tombak dll ,ikut dikirabkan dalam Garebeg untuk mengawal Sultan.
Abdi Dalem Polowijo
Abdi Dalem Polowijo adalah kelompok khusus abdidalem/pegawai karaton yang bentuk badannya cacat, tetapi mentalnya waras, seperti pincang, bule/albino, ada juga orang kate/cebol yang disebut cebolan.
Mereka ikut kirab Garebeg berjalan didepan kelompok putri Manggung. Di upacara khusus karaton seperti pisowanan, mereka berada dekat Sultan. Ini merupakan bukti bahwa Sultan memperhatikan semua warga, meski mereka cacat fisik, tetapi mampu mengabdi kepada Negara.
Kunjungan Sultan ke Masjid Ageng
Malam sebelum Garebeg Mulud yang akan dilaksanakan hari besok,Sultan melakukan kunjungan ke Masjid Ageng di Kauman. Pertama kali , beliau mengunjungi Pagongan Kidul dan Pagongan Lor untuk menyebarkan udhik-udhik berupa uang logam dan berbagai macam bunga kepada pemain gamelan dan gamelannya.
Kemudian Sri Sultan berkunjung ke masjid. Di serambi mesjid beliau disambut oleh Kepala Penghulu dengan cium tangan Sultan dengan hormat. Kemudian Sultan dan rombongan beserta seluruh hadirin mendengarkan dengan khidmat pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, dilanjutkan dengan doa selawat. Sebelumnya Sultan masuk kedalam masjid untuk memberikan sumbangan dan udhik-udhik didekat empat saka guru masjid.
Sesudah selawatan Kepala Penghulu mempersembahkan kepada Sultan dan pengikutnya bunga melati dan kanthil. Sultan dan yang lain menyelipkan masing-masing sebuah bunga diatas telinganya. Tradisi ini disebut “Caos Sumping” yang melambangkan kesucian. Sebelum tengah malam ,Sultan dan pengiringnya kembali ke karaton.
Kirab Gunungan
Dipagi hari pada hari Garebeg, semua pejabat dan petugas karaton telah siap untuk melaksanakan Perayaan Garebeg. Kirab dimulai dari dalam karaton. Sultan duduk di singgasananya di Bangsala Kencono ( Bangsal Emas) memerintahkan kepada Pangeran senior yang mendapat tugas untuk memimpin dan memulai kirab gunungan.
Kirab dari prajurit dan perwira karaton, gunungan dan lain-lain benda sakral karaton, mulai bergulir dari Bangsal Kencono menuju Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil.
Sultan kemudian duduk di singgasana diatas Selo Gilang didampingi oleh beberapa pangeran dan pejabat-pejabat karaton. Korps music karaton memainkan lagu kuno “ Munggang” , kemudian beberapa kesatuan prajurit karaton dengan uniformnya dan petaka-petakanya yang indah dan berwarna-warni berbaris dan memberikan hormat kepada Sultan. Mereka berbaris turun ke Pagelaran untuk selanjutnya ke Masjid Ageng. Pada baris terakhir adalah kesatuan Mantrijero yang membawa dan memainkan gamelan Kyai Guntursari selama prosesi berlangsung.
Kemudian terdengan alunan lagu “Kodok Ngorek” dari dua set gamelan karaton Kyai Keboganggang dan Kyai Gunturlaut. Dengan diiringi lagu ini, gunungan mulai muncul dengan didahului oleh sebuah Gagarmayang yang indah dan besar, berupa rangkaian bunga dan dedaunan. Yang muncul pertama adalah Gunungan Kutug/Bromo yang mengepulkan semerbak dupa kemenyan yang dibakar, lalu diikuti oleh gunungan-gunungan yang lain.
Munculnya barisan gunungan disambut salvo prajurit karaton dan tepuk tangan gempita para pengunjung. Orang-orang di Alun-alun Lor berteriak gembira, secara tradisi mereka percaya mendapatkan berkah dari Sultan sehingga akan mendapatkan keberuntungan dalam hidupnya dan para petani yang hadir percaya bahwa panen tahun ini akan bagus.
Prosesi mulai memasuki Alun-alun Lor. Mula-mula terlihat barisan prajurit karaton dan perwira-perwiranya, beberapa pangeran dan pejabat tinggi karaton, abdi dalem khusus Polowijo dan Cebolan( cacat fisik), pusaka raja dan pengawal-pengawal raja. Beberapa pusaka selalu dipayungi dan diasapi dupa kemenyan.
Pada masa kini, Sultan tidak berada dalam kirab gunungan, Sultan Hamengku Buwono VIII almarhum adalah Sultan terakhir yang ikut kirab gunungan.
Di Masjid Ageng, Kenduri dipimpin Kepala Penghulu. Ini merupakan Wilujengan Negari untuk keselamatan negeri. Sesudah acara ini selesai, dilanjutkan dengan makan bersama, dhahar kembul
Sementara itu, dihalaman masjid, ratusan orang dengan riuh rendah berusaha mendapatkan sedikit makanan dari sesaji gunungan, mereka percaya akan mendapatkan kehidupan yang lebih tentram dan baik.
Sesudah makan siang bersama, raja atau wakilnya dan para pejabat mengambil dan membawa sedikit makanan, ini disebut “berkat” untuk disantap bersama keluarga dirumah. Secara tradisi hal ini dipercaya bahwa siapapun yang menyantap “berkat” akan mendapat berkah dari Sang Pencipta Hidup, Tuhan.
Puro Pakualaman
Dihari Garebeg, pagi hari, beberapa pembesar Puro Pakualaman, didampingi oleh prajurit-prajurit Pakualaman, telah siap dan berada dihalaman depan Puro yang luas dan tertata apik.
Mereka menunggu utusan-utusan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat yang ditunjuk Sultan untuk menyampaikan sebuah gunungan sesaji berupa sebuah Gunungan Lanang.
Puro Pakualamaman tidak membuat gunungan, dengan terhormat Puro Pakualaman menerima pemberian gunungan dari Karaton Jogjakarta.
Gunungan Lanang kiriman Karaton Jogjakarta kepada Puro Pakualaman itu dilakukan melalui sebuah parade yang sangat menarik dan megah.
Gunungan tersebut dikawal oleh Prajurit Kavaleri Karaton termasuk 4 ekor gajah dan diperkuat oleh 2 peleton prajurit Pakualaman dari kesatuan Lombok Abang dan Plangkir. Sepanjang jalan kirab sejauh kira-kira 2 kilometer itu dipenuhi oleh penonton yang sangat menikmati prosesi itu.
Proses serah terima gunungan berjalan dengan khusuk tetapi juga gembira. Salah seorang pangeran senior dari Pakualaman atas nama Sri Paku Alam IX menerima dengan tulus anugerah dari Sultan Hamengku Buwono X.
Kemudian gunungan digotong oleh para prajurit Pakualaman ke halaman masjid Puro Pakualaman. Sesaji gunungan langsung dibagikan kepada kawula dan yang membutuhkan.
Pisowanan di Karaton
Pada saat garebeg Mulud dan Sawal, di karaton diadakan pisowanan,dimana Sultan menerima audiensi dari anggota keluarga, pejabat karaton dan pejabat daerah lainnya.
Dalam pisowanan, mereka yang menghadap menghormat Sultan sesuai dengan protokol karaton yaitu “sembah bekti” kepada Sultan.
( Sembah: Menghormat dengan menyatukan kedua telapak tangan dengan kedua ibu jari menyentuh pucuk hidung. Bekti : Menghormat dengan tulus dan taat).
Sultan dan para tamu mengenakan busana Jawa kebesaran. Sultan duduk dengan posisi tubuh tegak. Para tamu yang memberikan “sembah bekti”, satu persatu berlutut didepan Sultan,lalu menghaturkan sembah , mencium lutut kanan raja dengan menempelkan sedikit ujung hidungnya ke lutut raja, kedua telapak tangannya kanan dan kiri memegang lutut Sultan dan menghaturkan : “ Saya menghaturkan “sembah bekti”, maafkan segala kesalahan saya dan saya memohon berkah Sultan/ Ngarso Dalem”. ( Dalam bahasa akrab sopan, kawula Jogja menyebut Sultan sebagai “Ngarso Dalem”). Dalam jawabannya, Sultan akan menepuk-nepuk secara pelahan punggung atas dari yang menghadap dan memberkahinya.
Di Karaton Surakarta, “sembah bekti” dihaturkan kepada Sinuwun ( raja), tidak melakukan cium lutut kanan tetapi ke jempol kaki kanan raja.
( Sampai dengan saat ini, keluarga dan keturunan raja yang tinggal diluar Karaton, yang masih melestarikan tradisi Jawa, melakukan “sembah bekti” yang sama kepada orang tua dan kakek neneknya, pada saat perayaan Lebaran, hari saling memaafkan di bulan Sawal)
Ada tata cara khusus bagi saudara Sultan yang lebih tua untuk menyampaikan “sembah bekti” kepada Sultan. Seorang Pangeran, paman Sultan, berjalan menghampiri Sultan yang duduk di singgasananya, kira-kira dua meter dari Sultan berhenti, sedikit menekuk lututnya, mengangkat kedua tangannya , jempol kiri dan kanan tangannya menyentuh telinga kiri kanannya sendiri dan menghaturkan”sembah bekti’. Sultan menjawab dengan cara yang sama dari tempat duduknya.
Dimasa kuno, pada masa kekuasaan ditangan raja, bawahan yang tidak melakukan”sembah bekti” kepada raja, dinilai tidak setia, bahkan memberontak dan akan menerima hukuman.
Sembah bekti di Puro Pakualaman disampaikan kepada Sri Paku Alam IX.
Sembah bekti di Puro Mangkunegaran dihaturkan kepada Sri Mangkoe Nagoro IX.
Karaton Surakarta Hadiningrat
Karaton Surakarta juga menyelenggarakan upacara Garebeg yang waktunya sama dengan garebeg di Jogjakarta.
Di karaton Surakarta, gunungan disiapkan dikompleks karaton yang bernama Koken, artinya dapur, 4/empat hari sebelum hari Garebeg dibulan-bulan Jawa Mulud, Sawal dan Besar.
Beberapa priyayi karaton ditunjuk untuk melaksanakan Perayaan Garebeg yang dikeluarkan oleh Parentah Karaton. Raja, Susuhunan Pakoe Boewono XIII, dari tempat semayamnya memberi perintah kepada Pejabat Karaton, Mas Tumenggung Bupati untuk meneruskan kepada pejabat-pejabet terkait di Bangsal Marakata untuk melaksanakan upacara Garebeg.
Untuk Garebeg Mulud, Gamelan karaton Kanjeng Nyai Sekati yang terdiri dari Gamelan Kanjeng Kyai Gunturmadu dan Gamelan Kanjeng Kyai Guntursari dikeluarkan dari Bangsal Parangkarso.
Abdi dalem, pegawai karaton dari kesatuan Semut Ireng mengangkut gamelan-gamelan tersebut dipundaknya ke Mesjid Ageng di sebelah barat Alun-alun Lor. Gamelan-gamelan itu ditempatkan di Bangsal Pagongan.
Selama Pasar Malam Sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, ,gamelan selalu dibunyikan kecuali pada saat sholat wajib lima waktu.. Gunungan dibawa kembali ke karaton pada saat berakhirnya Sekaten.
Sesaji gunungan dibagikan kepada yang hadir dihalaman masjid saat Garebeg dan kepada pegawai karaton di istana.
Banyak orang Solo, orang biasa dan petani yang senang sekali menikmati gendhing-gendhing/ musik yang ditabuh oleh Gamelan Sekati Mereka itu mendengarkan selama berjam-jam didepan Pagongan menikmati lagu-lagu favoritnya terutama komposisi musik gamelan “Rembu” dan “Rangkung”
“Rembu” intinya merupakan pujaan kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa; sedangkan “Rangkung” mengajak orang untuk mempunyai jiwa besar dalam hidup ini. Untuk orang-orang ini, lantunan Gamelan Sekaten adalah obat penenang yang nikmat dalam kehidupan duniawi yang hiruk pikuk ini, sehingga sangat berguna untuk keseimbangan hidup.
Pada saat Garebeg Mulud, Sawal dan Besar, diadakan pisowanan kepada Sinuwun, dimana para abdi dalem, pejabat karaton diwajibkan untuk turut ambil bagian sebagai tanda hormat dan setia kepada Raja.
Jagadkejawen,
Suryo S.Negoro