LETAK DAN PEMUGARAN CANDI
Candi Kalasan terletak dipinggir jalan raya Jogjakarta Prambanan, sehingga akan terlihat jelas apabila kita melewatinya. Candinya sudah sangat rusak, di pugar pada tahun 1927-1929, tetapi karena tidak banyak batu candi yang dapat ditemukan lagi, maka apa yang terlihat sekarang adalah hasil maksimal yang bisa dilakukan oleh para ahli arkeologi (Gambar 1).
Pada waktu diadakan pembongkaran oleh Dinas Purbakala sebelum Perang Dunia II, ternyata pada bagian dalam kaki candi terdapat dinding yang lebih tua. Artinya candi Kalasan telah pernah direnovasi sebelumnya. Kebiasaan memperbaiki suatu bangunan suci oleh penguasa –penguasa kemudian biasa terjadi. Misalnya stupa Sanchi di India pun pernah terbukti ada perbaikan, atau usaha memperbesar stupa tersebut .
LATAR BELAKANG KEAGAMAAN
Candi Kalasan merupakan candi yang bersifat agama Buddha Mahayana, dan merupakan candi agama Buddha tertua di Jawa Tengah. Sebuah prasasti berbahasa Sansekerta yaitu prasasti Kalasan dari tahun 700 Saka/778 Masehi telah ditemukan tidak jauh dari candi tersebut.
Berdasarkan prasasti Kalasan, sebuah bangunan suci untuk Tārā(Tārābhavanam) telah didirikan oleh guru-guru raja Sailendra setelah mendapat ijin dari raja Panangkaran.
Prasasti Kalasan ini sangat penting, tidak saja untuk mengetahui bentuk agama Buddha yang berkembang ketika itu dan kedua untuk menelusuri sejarah raja-raja yang memerintah di wilayah Jawa Tengah pada abad 8-10 Masehi.
Berdasarkan kitab-kitab sumber agama Buddha, setelah Siddharta Gautama wafat, agama Buddha pecah menjadi 2 aliran besar, yaitu:
Yang disebut agama Buddha Hinayana atau Therawada dan agama Buddha Mahayana.
Perbedaan yang signifikan adalah mengenai tujuan akhir hidup para pemeluknya. Cita-cita tertinggi penganut agama Buddha Hinayana adalah menjadi Arhat bagi setiap orang, yang mempunyai arti melenyapkan avidya (ketidak tahuan), dan melenyapkan segala keinginan duniawi agar terhindar dari kelahiran kembali dan dapat mencapai Nirwana.
Adapun cita-cita tertinggi penganut agama Buddha Mahayana bukan menjadi Arhat bagi diri sendiri, melainkan menjadi seorang Bodhisatwa, maksudnya menangguhkan pencapaian Nirvana atau yang lebih dikenal sebagai tingkat Kebuddha-an, untuk menolong manusia lain mencapai tingkat tersebut.
Tekad menolong sesama mahluk itu didasari oleh rasa belas kasihan (karuna). Untuk menjadi seorang Bodhisatwa tidaklah mudah, ia harus memupuk pengetahuan suci untuk memperoleh kebijaksanaan dengan menempuh 10 tingkatan jalan (mārga) Bodhisatwa yang dikenal dengan nama daśa boddhisattwabhūmi. Setiap tingkat (bhūmi) Boddhisatwa terkait dengan satu ajaran tentang kesempurnaan (paramitā) yang berjumlah 10 pula. Oleh karenanya agama Buddha Mahayana juga dikenal sebagai Paramitāyana.
Sunyata dan Skanda
Ajaran lain dalam agama Buddha Mahayana yang perlu penulis kemukakan, adalah ajaran tentang śunyata (kehampaan,ketiadaan) dan skandha yang berjumlah 5.
Ajaran Bhakti
Menurut ajaran Buddha Mahayana, segala sesuatunya adalah hampa, oleh karenanya apa yang diinginkan tidak ada, atau tidak terwujud, tidak perlu diminta dan dicari. Bukan saja dunia ini yang hampa, bahkan Nirwana dan Dharma juga hampa, dan Kebenaran Tertinggi pun adalah Kehampaan/Ketiadaan (Śunyata)
Ajaran Bhakti
Kemudian agama Buddha Mahayana mendapat berbagai pengaruh, di antaranya adalah ajaran bhakti. Gerakan ini menekankan kasih dan penyerahan diri pada dewa tertentu. Dan pengaruh ini berakibat kepercayaan munculnya para Buddha/Bodhisattwa yang bersifat mitis, yang merupakan pantulan dari para Buddha yang menguasai mata angin.
Munculnya tokoh-tokoh Buddha/Boddhisattwa tersebut dikaitkan dengan ajaran Sakyamuni tentang 5 skandha. Menurut ajaran tersebut manusia merupakan perpaduan (samghata) dari nāma-rūpa, yaitu rūpa (jasmani), vijñana (kesadaran), vedana (perasaan) samjña (pengamatan) dan samskara (kehendak).
Selanjutnya ke-5 skandha tersebut diidentifikasikan dengan 5 Tathagatha atau Jina dengan mata angin tertentu (Buddha-ksetra) yang dikuasainya, yaitu Wairocana (zenith), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), Amittabha (barat ) dan Amoghasiddha (utara). Masing-masing Tathagatha ini dari daya tafakurnya dan kekuatan pengetahuannya, mengalirkan seorang Bodhisatwa dan seorang Manusia Buddha.
Adi Buddha
Ajaran tentang 3 jenis “tubuh” yang berbeda-beda tingkatannya ini dikenal sebagai ajaran “Tiga tubuh Buddha” (Trikāya), yaitu Dharmakāya, Sambhogakāya dan Nirmanakāya. Dharmakāya yang bersifat Śunyata sering disebut Adi Buddha, atau nama lain sesuai dengan aliran pemujanya. Kelompok Tathagatha termasuk, Sambhgakāya dan kelompok di bawahnya Nirmanakāya.
Adi Buddha yang disebut Bhattara Buddha dalam naskah Sang Hyang Kamahayanikan (naskah jaman Mpu Sindok) digambarkan memiliki “pasangan” berbentuk wanita, bukan śakti karena dalam agama Buddha tidak mengenal śakti, tetapi perwujudan Prajña (Kebijaksanaan) yang bersifat pasif, sedangkan Adi Buddha sendiri perwujudan dari Karuna (Belas Kasihan) bersifat aktif.
Demikian pula masing-masing tokoh dalam Sambhogakāya dan Nirmanakāya, dipuja dengan masing-masing prajña-nya yang disebut Tārā, dengan pembeda ciri-ciri ikonografi dan warna.
Candi Buddha Tertua
Menarik perhatian adalah bahwa candi tertua di Jawa dibangun untuk Tārā, berarti Tārā dianggap sebagai dewi tertinggi. Hanya sayangnya arcanya telah hilang sehingga untuk identifikasi Tārā dari Tathagatha yang mana sulit dilaksanakan. Dalam prasasti Kalasan disebut Arya Tārā , tokoh yang jarang ditemukan di India, kecuali di Bengal, sedangkan di luar India sangat dikenal, antara lain di Tibet, Nepal dan Cina. Pemujaan Tārā pada umumnya, bertujuan untuk minta keselamatan dalam perjalanan di laut, namun sebagai dewi tertinggi pemujaan kepada Arya Tārā mempunyai tujuan yang lebih luas lagi. Dalam prasasti Kalasan, Arya Tārā dikaitkan dengan ajaran dharma, dan menolong manusia menyeberangi lautan samsara, untuk mencapai pengetahuan yang benar.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Prasasti Kalasan sangat penting untuk merekonstruksi sejarah budaya masa Klasik Tua (periode Jawa Tengah). Disebut dalam prasasti tentang pendirian sebuah bangunan suci (bhavana-) untuk Arya Tārā (Tara-bhavana-), dan sebuah vihara untuk guru-guru raja Sailendra. Seperti telah dikemukakan terdahulu, Arya Tara, dewi tertinggi dalam agama Buddha diharapkan dapat memberi kemudahan dalam usaha manusia mengarungi “lautan samsara” . Adapun yang mendirikan adalah guru-guru raja Sailendravamsatilaka (:manikam keluarga Sailendra) setelah mendapat ijin dari Sri Maharaja Panamkarana.
Penyebutan 2 nama tersebut menimbulkan berbagai pendapat tentang berapa wangsa raja yang memerintah di kerajaan Mataram tersebut, Dua wangsakah (Sailendra dan Sanjaya) atau hanya satu wangsa, karena ada yang berpendapat raja-raja wangsa Sanjaya sejak raja Panangkaran berubah haluan menjadi beragama Buddha ? Berdasarkan bacaan terakhir oleh penulis tentang prasasti Kalasan, dapat dikemukakan, bahwa di Jawa Tengah memang ada 2 dinasti (wangsa) raja. Pada baris 2 dan baris 5 prasasti Kalasan berbunyi sebagai berikut:
2. āvar(j)yā mahārājam dyāh pañcapanam panamkaranam
śailendrarājagurubhis tārābhavanam hi kāritam śrimat
(Terjemahan: sebuah bangunan suci (untuk) Tara yang mulia telah di-
suruh buat oleh guru2 raja Sailendra, setelah memperoleh persetuju-
an Maharaja Dyah Pancapana Panamkarana)
5. rājye pravarddhamāne rajñah śailendravamśatilakasya
śailendrarājagurubhis tārābhavanam kŗtam kŗtibhih
(Terjemahan: sebuah bangunan suci (untuk) Tara telah didirikan
oleh guru2 raja Sailendra di kerajaan “manikam raja2 Sailendra” yang
sedang berkembang).
Dari dua bait prasasati Kalasan tersebut, raja Panangkaran bukan raja Sailendra, dan ia bergelar Maharaja, sedangkan raja Sailendra hanya bergelar “raja”. Melihat bahwa Tārābhavanam didirikan di “kerajaan Sailendra yang sedang tumbuh”, maka ketika itu raja Sailendra masih merupakan raja “kecil” di bawah kekuasaan Panangkaran. Bahkan ketika akan mendirikan bangunan suci untuk Tārā, raja Sailendra (melalui guru2nya) minta ijin terlebih dahulu pada maharaja Panangkaran.
DESKRIPSI BANGUNAN CANDI
Telah dikemukakan terdahulu, candi Kalasan pernah diperbaiki, sisa-sisa candi pertama ditemukan pada tahun 1940 pada waktu diadakan penggalian oleh Dinas Purbakala. Walaupun hanya sedikit tersisa dari bangunan pertama ini, dapat dikemukakan bahwa candi Kalasan tahap pertama berdenah bujur sangkar dan sederhana. Kemungkinan candi yang pertama inilah yang disebut dalam prasasti Kalasan, ketika raja Sailendra baru memerintah sebagai bawahan raja Panangkaran.
Candi kedua, yaitu yang nampak sekarang terlihat perkembangannya, karena denah tidak bujur sangkar lagi, pada tiap sisi diberi penampil sehingga membentuk denah palang atau dahulu lebih sering disebut sebagai “salib Yunani”, atau “denah palang”.
Seperti lazimnya candi-candi dari periode Jawa Tengah )gaya Klasik Tua sekitar abad 8-10) Masehi, secara vertikal candi terdiri atas kaki-tubuh-atap. Untuk memadatkan tanah tempat candi berdiri, biasanya ada fondasi di dalam tanah atau di dalam tanah dan sekaligus dimunculkan di permukaan tanah seperti halnya candi Kalasan. Fondasi di permukaan tanah ini di candi Kalasan berukuran tinggi kurang lebih 1 meter, menjadi lapik kaki candinya yang didirikan di atas fondasi tersebut. Lapik lebih lebar dari kaki candi, sehingga membentuk selasar untuk mengelilingi candi (pradaksina) (Gambar 1). Lapik ini dihias oleh beberapa pelipit rata yang berukuran besar dan kecil.
Kaki candi berdiri di atas lapik, dengan tangga naik ke ruang candi di sebelah timur, hanya sayangnya tangganya sudah rusak tinggal tumpukan batu saja. Demilian pula berbagai pelipit yang menghias dinding kaki candi sudah rusak, tetapi A.J.Bernet Kempers (1959) dapat mencoba merekonstruksi bingkai-bingkai kaki candi, yaitu berbentuk pelipit rata, pelipit padma dan pelipit setengah lingkaran (kumuda).
Tubuh candi masih nampak bentuknya pada sisi selatan dan tenggara (Gambar 2).
Pintu-pintu penampil dan relung dihias kepala kala tanpa rahang bawah, yang dihubungkan dengan 2 pasang makara. Tidak banyak hiasan dinding candi, tetapi sangat bagus dan mempunyai nilai seni yang tinggi. Dahulunya dinding candi diberi lepa, dan mungkin warna-warna tertentu. Beberapa tahun yang lalu, pengunjung masih bisa menemukan pecahan kecil-kecil lepa dinding candi. Di samping motif kala-makara, keindahan diperlihatkan pula oleh motif sulur daun atau sulur gelung (ricalcitran spiral) yang menghias bingkai-bingkai candi.
Pada tubuh candi ini terdapat ruang candi (garbhagrha) yang bisa dimasuki dari pintu timur. Sebuah lorong (antarala) menghubungkan pintu dengan ruang tengah tersebut. Di dinding sebelah barat terdapat pentas persajian dengan sisa-sisa singgasana yang kosong, arcanya (Tārā ?) tidak ditemukan lagi.
Atap candi sebenarnya sangat unik, di bagian atas pintu penampil terdapat atap dengan hiasan stupika-stupika. Di bagian tengah terdapat lapik berbentuk prisma segi-8 dengan kemungkinan puncaknya sebuah dagoba besar. Dinding-dinding lapik masih terlihat beberapa relief manusia , hanya sayangnya keadaannya sudah sangat rusak.
HALAMAN CANDI
Candi Kalasan dikelilingi oleh 52 buah stupa kecil-kecil sekarang tinggal fondasi-fondasinya. Ketika di gali untuk diteliti, ternyata isinya peripih termasuk kaca perunggu. Pada candi Hindu, peripih dimasukkan dalam sumuran candi yang ada di bagian bawah arca di ruang tengah. Pada candi-candi Buddha, peripih dalam sumuran tidak ditemukan. Pada candi Kalasan rupanya peripih di letakkan di bawah 52 stupa kecil-kecil yang mengelilingi candi induk.
Keistimewaan lain dari candi Kalasan adalah pada ujung jalan setapak menuju candi di sebelah timur, dihias dengan motif “batu bulan” (moonstone), berbentuk kurawal yang berfungsi semacam pembersih kaki (Jawa:kekesed). Kebiasaan pemakaian “moonstone” ini banyak ditemukan pada kompleks kuil-kuil India Selatan.
PENUTUP
Seperti telah dikemukakan terdahulu, Candi Kalasan pada umumnya dikaitkan dengan prasasti Kalasan yang menyebut desa Kalasa tempat didirikan Tārābhavanam (bangunan suci untuk Tārā). Namun dari hasil pembongkaran tahun 1940 terdapat kaki candi yang lebih tua,
Berdasarkan ciri-ciri struktural maupun arsitekturalnya, J.Dumarcay memperkirakan candi Kalasan yang ada sekarang ini dibangun sekitar tahun 850 Masehi, di atas candi yang dibangun tahun 778.
*****
Jakarta, 23 September 2011
JagadKejawen
Prof.DR.HARIANI SANTIKO